Istilah kata ”korupsi” tampaknya sangat tabu diucapkan oleh sebagian Pegawai Negeri Sipili (PNS). Entah apakah karena memang berbicara masalah korupsi bukan hal yang sederhana, atau memang karena ketakutan psikologis PNS yang merasa juga bagian dari pelaku?
Dalam Kamus Hukum korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Kamus Lexien Webster (1978) menyebut korupsi dalam pengertian kebejatan; ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian. Dalam bahasa hukum kita, korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (UU No. 20 Tahun 2001). Tentu tidak bisa diartikan secara mentah, namun juga harus dilihat unsur-unsur yang terkandung didalamnya.
Korupsi tidak akan terlepas dari sebuah seni. Banyak definisi tentang seni. Penulis dalam hal ini lebih menitikberatkan definisi seni sebagai sebuah hasil kreasi / karya manusia. Kaitannya dengan korupsi adalah bahwa korupsi yang dilakukan manusia secara turun temurun, terus menerus, dengan berbagai metode perlindungan diri, dan dengan berbagai cara adalah juga karya manusia yang mengkreasikannya dalam bentuk perbuatan. Hasil-hasil seni manusia dalam perbuatan korupsi sangat beragam. Mulai dari kegiatan suap sebagai bentuk gratifikasi, kolusi, pengumpulan dana non-budgeter, pemerasan dan lain sebagainya.
Tulisan ini secara khusus mengupas tentang dana non-budgeter yang sampai saat ini masih dianggap sebagai illegal budget karena tidak ada peraturan yang mengaturnya.
Istilah dana non-budgeter memang bukan istilah hukum. Istilah ini mulai banyak disebut sejak era reformasi 1998. Berbagai kasus korupsi erat dikaitkan dengan istilah ini. Sebagian PNS menyebutnya ’dana taktis’ atau ’dana yang sudah dipertanggungjawabkan’ atau ’dana operasional lainnya’ atau ’dana tak bertuan’. Padahal secara prinsip dana non-budgeter adalah dana-dana yang sengaja dikumpulkan secara ilegal oleh instansi atau unit instansi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendesak atau kebutuhan lainnya dil luar dana legal yang dialokasikan APBN. BPK menyebut bahwa dana non-budgeter ini jumlahnya bisa mencapai 4-10 triliun rupiah di instansi-instansi pemerintah di seluruh Indonesia. Angka yang luar biasa besarnya!
Padahal undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara secara tegas melarang seluruh pejabat dan aparatur negara mengelola dan memiliki dana non-budgeter. Semua anggaran (pendapatan, pengeluaran, penerimaan dan pembiayaan) harus tercatat dalam APBN atau APBD yang harus dipertanggungjawabkan kepada parlemen pada akhir tahun anggaran. Lalu dari mana dana non-budgeter bersumber?
Menurut pengamatan dan pengalaman penulis, Dana Non-Budgeter dapat bersumber dari;
1. Kewajiban tidak tertulis atau ”upeti” setiap rapelan gaji/penghasilan pegawai lainnya kepada unit satuan kerja (satker) melalui bendahara masing-masing.
Pengumpulan uang perjalanan dinas fiktif dari pegawai yang tidak benar-benar melakukan perjalanan dinas (pegawai sebatas menandatangani pertanggungjawaban keuangan).
2. Uang/barang pemberian dari rekanan/perusahaan yang memenangkan tender/lelang di unit kerja berkaitan (entah itu yang bersifat sukarela karena dianggap ‘etika’ rekanan maupun yang bersifat ’sedikit’ memaksa).
3. Uang/barang pemberian dari perusahaan atau pihak ketiga yang memiliki kepentingan langsung/tidak langsung dalam dengan maksud/harapan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan instansi yang bersangkutan atau maksud lainnya.
4. Penggelapan pajak oleh oknum tertentu. Namun, teknik ini hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu dengan kompetensi mencukupi.
5. Hasil manipulasi pertanggungjawaban keuangan (misalnya kuitansi palsu, tandatangan palsu, stempel palsu, bahkan kegiatan fiktif).
6. ’Upeti’ satuan kerja kepada satuan kerja lain yang berhubungan dengan kepentingannya (misalnya dari saker ke pemeriksa atau auditor internal/eksternal atau dari satker ke pejabat satker lain).
7. Bunga bank dari dana non-budgeter maupun dana resmi APBN yang sengaja diendapkan di rekening orang perorangan.
8. Hasil investasi dari pemanfaatan dana non-budgeter maupun dana resmi APBN yang tidak dilaporkan sebagai PNBP.
Setidaknya uang-uang tersebut diatas kemudian diorganisir untuk dapat digunakan sebagai:
1. Uang/barang dalam rangka jamuan kepada tamu khusus maupun kepada pejabat yang berkunjung diluar anggaran DIPA;
2. Dana bantuan/tambahan untuk kegiatan-kegiatan perayaan hari besar keagamaan dan hari besar nasional tertentu;
3. Uang/barang dalam rangka pemenuhan Tunjangan Hari Raya (THR) bagi Pegawai dan Pejabat;
4. Upeti/hadiah/gratifikasi kepada pejabat di satuan kerja (satker) bersangkutan maupun di satker lain di akhir tahun anggaran;
5. Upeti/hadiah/gratifikasi kepada anggota DPR dalam hal ada kaitannya dengan kepentingan Satker maupun kepentingan Departemen/Lembaga Non-Departemen;
6. Upeti/hadiah/gratifikasi kepada Partai Politik (parpol) maupun oknum tertentu dalam rangka pemilu, Pilpres, Pilkada dll;
7. Gratifikasi atau pemberian hadiah kepada pegawai/pejabat/ institusi dangan kepentingan tertentu.
8. Dana talangan kegiatan-kegiatan yang anggarannya belum turun.
9. Dana tambahan untuk konsumsi rapat formal/informal, sumbangan bagi pegawai yang sakit keras, tambahan uang duka bagi pegawai atau keluarga pegawai yang meninggal dunia.
10. Sumbangan untuk kegitan sosial lainnya (bantuan rumah ibadah, yayasan, pendidikan, LSM, dan lain-lain yang tidak dianggarkan dalam DIPA).
Lalu kenapa uang-uang tersebut harus ada? Apakah karena APBN kita tidak mengenal istilah pengalokasian uang jamuan khusus atau entertainment fee seperti di perusahaan swasta (semisal bank, asuransi dll)? Apakah aturan larangan atas THR memperhatikan juga budaya dan kebiasaan masyarakat kita? Padahal dalam praktiknya uang tersebut tetap dikeluarkan.
Apakah juga karena APBN kita tidak mengalokasikan atau kurang dalam pengalokasian mata anggaran untuk kegiatan hari besar keagamaan dan hari besar nasional (misalnya maulid nabi, Idul Fitri, Idul Adha, Natal, waisak, hari kemerdekaan, hari kebangkitan nasional, kegiatan-kegiatan sosial lainnya, dan lain-lain)?padahal pada kenyataannya kegiatan tersebut selalu di lakukan di setiap instansi.
Terlepas dari sebab-musabab diatas, setidaknya ada satu titik kesimpulan yang bisa diambil yakni bahwa budaya “korupsi berjamaah” secara sadar maupun tidak sadar sudah menjadi sebuah praktik rutin di instansi pemerintah. Tujuan penggunaan dana non-budgeter untuk kepentingan yang baik dan legal maupun yang tidak baik/ilegal pada prinsipnya tetap melanggar ketentuan yang ada. Tapi dalam praktiknya memang sangat sulit untuk dihindari.
Jika dibahas secara mendalam, akar permasalahannya sangat panjang dan seperti lingkaran setan yang saling berkaitan satu sama lainnya. Memberantas korupsi tidak semudah membalik telapak tangan. Tapi setidaknya dalam diri aparatur pemerintah hendaknya ditanamkan niat bersih untuk menghindari atau setidaknya meminimalisasikan praktik korupsi dengan segala macam bentuknya.
Penulis: Teguh Arifiyadi, SH