Senin, 24 Agustus 2009

Membedah Mental Koruptif Pegawai

Pada era orde baru, istilah korupsi menjadi icon yang melekat bagi para pegawai yang bekerja di lingkungan pemerintahan. Namun dengan pemahaman yang luas tentang korupsi , memberi makna bahwa korupsi tidak saja dilakukan oleh pegawai pemerintah, melainkan juga melibatkan unsur swasta, professional, bahkan partai politik. Korupsi disini direduksi pengertiannya menjadi perbuatan yang dapat mengakibatkan kerugian terhadap keuangan Negara dengan bermacam-macam unsur yang terdapat didalamnya.

Contoh kongkret perbuatan korupsi yang terjadi sehari-hari adalah; melakukan kegiatan fiktif, perjalanan fiktif, tiket fiktif, gratifikasi, dan lain-lain. Perbuatan yang mana secara sadar maupun tidak sadar dilakukan oleh hampir setiap instansi pemerintah maupun swasta.

Ada baiknya kita memahami sejauh apa motif, modus, maupun keinginan orang untuk melakukan korupsi. Penulis mencoba membedah karakter orang yang korupsi (corruptor) guna memberi pemahaman bahwa tidak semua corruptor dapat dipandang dan dipersalahkan dengan bobot yang sama.

Penulis dengan pandangan argumentatif membagi empat tingkatan (level) karakter koruptif, antara lain:

1. Level Pertama
Karakter ini adalah karakter idealis. Segala macam bentuk korupsi selalu dihindari. Karakter ini membangun keyakinan diri bahwa segala sesuatu yang dilakukan harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan kejujuran. Kesadaran untuk menghindari korupsi muncul dari diri sendiri, tanpa paksaan dari orang lain, maupun paksaan karena peraturan. Bentuk korupsi terkecilpun akan dilawannya. Bahkan jika harus mengorbankan kepentingan pribadinya demi mempertahankan idealitasnya.

2. Level kedua
Karakter ini karakter moderat dalam hal menyikapi bentuk korupsi. Karakter ini menyadari bahwa sangat sulit menghindari korupsi dalam lingkungan pekerjaannya. Namun demikian, karakter ini tidak pernah menciptakan peluang sendiri untuk melakukan korupsi. Korupsi yang dilakukan hanya semata karena pola sistem maupun budaya kerja di sekitarnya. Karakter ini sadar bahwa yang dilakukannya adalah kesalahan. Karakter ini tidak memiliki keberanian melawan dan menghindari korupsi meskipun itu mampu dilakukannya.

3. Level Ketiga
Karakter ini pada prinsipnya hanya follower. Karakter ini tidak memiliki kemampuan berinisiatif untuk melakukan korupsi. Kalaupun karakter ini melakukan korupsi, itu semata karena peluang yang tersedia. Meskipun peluang mendapatkan hasil korupsi lebih banyak terbuka lebar, karakter ini cenderung tidak agresif mengambil peluang tersebut. Baginya korupsi dilakukan hanya sebatas memenuhi kebutuhan hidup yang dirasa kurang akibat penghasilan mereka yang tidak mencukupi. Karakter ini menganggap bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk menghindari korupsi.

4. Level Keempat
Karakter ini adalah inisiator. Karakter ini memiliki kemampuan untuk menciptakan peluang korupsi. Karakter ini secara sadar memanfaatkan kelemahan sistem untuk menciptakan peluang korupsi. Karakter ini membangun sistem baru atau memodifikasi sistem lama menjadi sistem yang membuka ruang orang melakukan korupsi. Motif korupsi bukan sekedar memenuhi kebutuhan minimal, namun memaksimalkan apa yang dapat mereka peroleh. Hasil korupsi yang mereka dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Karakter ini meyakinkan orang bahwa apa yang dilakukaknya adalah hal yang lumrah dan dapat ditiru. Hal itu dilakukan dalam rangka menjalin kebersamaan untuk menghindari risiko hukum perorangan.

Dari keempat level karakter corruptor tersebut, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Resistensi lingkungan terhadap karakter-karakter tersebut bergantung pada budaya kerja setiap tempat dimana karakter tersebut berada.

Namun demikian media massa sebagai kontrol sosial memandang bahwa semua 3 karakter terburuk mempunyai bobot kesalahan yang sama, sehingga menempatkan karakter-karakter tersebut sebagai seluruh obyek yang paling tersudut tanpa memandang modus, motif, maupun karakter individu masing-masing prilaku. Akibatnya porsi keadilan tidak terpenuhi secara proporsional bagi karakter koruptor follower dan moderat. Bahkan cenderung dikorbankan untuk menyelamatkan karakter inisiator yang memang sebagian secara hierarkis lebih cerdas dan memiliki kekuasan di banding yang karakter lainnya.

Penulis termasuk orang yang setuju bahwa untuk menangkap corruptor, hukum harus melakukan tebang pilih. Hukum tidak memiliki kemampuan untuk menunjukan peran represif kepada seluruh pelaku kejahatan. Pola tebang pilih akan lebih menekankan peran preventif hukum dalam mengatasi kejahatan. Bagaimana jadinya jika semua pelaku korupsi baik korupsi dalam kategori ringan sampai kategori berat (berdasarkan tingkat kerugiannya) harus ‘dibersihkan’. Tentu hukum tidak akan sanggup melakukakan hal tersebut. Namun yang terpenting adalah pola tebang pilih bukan diarahkan kepada kepentingan golongan/kelompok tertentu atau dalam rangka menyelamatkan golongan/kelompok tertentu.

Ibarat kata pepatah, untuk menangkap seekor tikus bukan berarti harus membakar seluruh lumbungnya. Demikian pula hukum harus bekerja secara selektif untuk membersihkan korupsi dengan metode yang paling efektif.

Penulis: Teguh Arifiyadi, SH

Tidak ada komentar: