Selasa, 05 Oktober 2010

'Bad News id a Good News'

Prolog

"Bad News is a Good News…"

Saya bukan seorang pengamat media, bukan juga seorang ahli untuk berbicara tentang demokrasi, tapi tidak ada salahnya saya menulis tentang ulah beberapa insan pers belakangan ini yang semakin tidak profesional. Setidaknya saya pernah 3 tahun menjadi wartawan (meskipun hanya dalam lingkup terkecil yakni wartawan kampus), untuk bisa memberikan pandangan subyektif saya tentang maraknya "jurnalisme jalanan" di Indonesia saat ini.

Disebuah website olahraga saya pernah membaca komentar seorang pembaca berita yang tertulis "...ckckck kebebasan pers itu sendiri telah mengalahkan hak asasi manusia..". Komentar itu ditulis oleh seorang pembaca berita mananggapi tulsian seorang wartawan yang mengomentari sikap tidak profesional Boaz Salossa yang "tidak berkenan" menjawab pertanyaan wartawan dan hanya memberikan senyum. Lebih jauh lagi sang wartawan mengutip pernyataan teman wartawan lainnya yang mengatakan bahwa sikap Boaz tersebut dianggap "Ndeso" dan menambahkan berita keengganannya sang pemain untuk membela Timnas karena mengikuti laga antar kampung (tarkam) tanpa sumber berita yang jelas.

Luar biasa, cara wartawan tersebut melontarkan kemarahannya dalam tulisan yang dibaca publik se-indonesia. Sakit hati rasanya kalau kita adalah sang pemain tersebut atau keluarga dari sang pemain tersebut. Namun jika sang pemain merasa keberatan dengan berita yang dianggap fitnah dan mencemarkan nama baik tersebut, sudah pasti pers akan mengatakan bahwa sang pemain punya "HAK JAWAB" tehingga tidak perlu melalui proses hukum. Ujung kasusnya sudah bisa diketahui bahwa pers akan meralat dan meminta maaf. Dan case close!!

Contoh kejadian diatas tentu bukan kejadian pertama dalam dunia media. sikap tidak profesional wartawan seringkali membuat banyak pihak merasa "geregetan". Berita yang tidak berimbang, berita yang tidak jelas, berita yang bermuatan fitnah, berita yang bermuatan "cabul", berita yang menyudutkan, berita yang melanggar privasi, dan masih segudang lagi sifat buruk oknum media yang sering kita baca dan kita lihat diberbagai media baik elektronik maupun cetak.

Penetrasi Akses Pornografi akibat Pemberitaan
Tidak perlu ahli psikologi sosial untuk membuktikan bahwa efek berita pelecehan seksual maupun berita yang bertendensi 'porno' memberi pengaruh terhadap terjadinya kejahatan seksual/pornografi berikutnya. Rating masyarakat terhadap berita pencabulan atau pemerkosaan misalnya, dipastikan sangat tinggi melebihi rating berita tentang hasil penelitian. Tentu! karena secara alamiah, manusia tertarik untuk mengakses atau mengetahui apa yang menjadi hasyrat penasaran dalam pikirannya.

Masalahnya saat ini adalah bukan pada prilaku pikiran masyarakat yang membaca berita tersebut, melainkan bagaimana media 'menjual' berita tersebut dengan judul bombatis, maupun konten hiperbola, atau bahkan menyudutkan korban. Contoh kongkret; satu peristiwa pelecehan seksual dalam sebuah berita online maupun offline [cetak] bisa di ulas lebih dari 5 kali tergantung ragam kasus tersebut. Lumrah secara 'ilmu jurnalistik', tapi tidak lumrah dari aspek sosial kemasyarakatan. Apakah media atau oknum media memahami perasaan korban dan keluarga korban dengan eksploitasi pemberitaan tersebut?bagaimana jika korban tersebut adalah keluarga, teman, atau saudara pewarta media tersebut?

Media dan Politik; Perkawinan terlarang!
Mengejutkan [atau pura-pura terkejut] membaca hasil riset Merlyna Lim pada tahun 2012 yang memetakan kepemilikan media di Indonesia. Tanpa perlu menampilkan hasil detail riset, setiap pembaca hasil riset akan menyimpulkan bahwa kekuatan politik telah masuk sampai ke dalam sendi-sendi mediacentris di Indonesia. Apa pengaruhnya bagi kualitas produk jurnalistik di Indonesia?Bisa ditebak, angin pemberitaan sangat tergantung angin politik yang berhembus. Tidak ada lagi kemegahan idealisme jurnalistik yang diagung-agungkan para leluhur jurnalis. Yang tersisa adalah perang media dengan korban terbesar adalah masyarakat Indonesia. Tanpa bermaksud merendahkan kualitas pendidikan di Indonesia, minimnya pengetahuan masyarakat tentang kualitas sebuah berita membuat masyarakat sangat mudah terpengaruh. Saat ini, opini masyarakat adalah opini media. Jika situsi seperti ini terus terjadi tanpa ada campur tangan otoritas berwenang [pemerintah dan/atau KPI], bukan tidak mungkin Indonesia memasuki jaman jahiliyah informasi. Solusinya harus kejam, pemilik partai/kelompok politik tertentu atau afiliasinya dilarang atau dibatasi memiliki media!

Sah-sah saja membangun kekuatan politik dengan mempengaruhi konten media, namun ada batas-batas etika kejujuran yang harus selalu disampaikan kepada masyarakat. Itulah benteng terakhir kekuatan sebuah media!