Rabu, 26 Agustus 2009

Tentang Seni Korupsi Ala PNS; Dilema Tunjangan Hari Raya Pegawai Negeri Sipil


Jika seorang PNS ditanya apakah tujuan menjadi seorang PNS adalah untuk berbuat korupsi, tentu sebagian besar mereka akan menjawab tidak pernah terpikirkan niat sedikitpun untuk korupsi. Kemudian jika ditanya, apakah mereka menerima tunjangan hari raya, mereka menjawab: "ya kami semua menerima...". Kemudian ketika ditanya lagi: "darimana sumber uang THR itu diberikan?" maka mereka akan menjawab dari uang negara atau dari atasan atau dari sumber lainnya yang tidak diketahui.

Tahukah anda jika pasal 13 keppres 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN melarang penggunaan anggaran negara untuk pengeluaran dalam rangka perayaan hari raya. Dengan kata lain, kemungkinan terbesar pemberian tunjangan hari raya diberikan bukan bersumber dari dana resmi APBN. Bisa jadi jika atasan seorang yang sangat baik hati, uang THR bersumber dari kantong pribadi atasan. Tapi bukan rahasia jika sebagian besar uang THR yang diterima PNS bersumber dari dana non-budgeter yang jelas diluar yang diatur dalam Keppres 42 Tahun 2002. Dan mungkin jika mau diruntut, sumber dana non-budgeter bisa merupakan hasil perbuatan korupsi (baca: seni korupsi ala PNS; Dana Non-Budgeter).

Tunjangan Hari Raya atau biasa disebut THR pada dasarnya merupakan hak legal pegawai yang harus diberikan perusahaan kepada pegawai sesuai dengan peraturan menteri tenaga kerja NO.PER-04/MEN/1994 Tentang THR Keagamaan bagi pekerja di perusahaan.

Sayangnya aturan tentang THR ini sepengetahuan penulis belum pernah diatur secara resmi wajib diberikan kepada pegawai negeri sipil seperti halnya pemberian gaji ke-13 PNS.

THR bagi sebagian masyarakat Indonesia dianggap bukan sekedar tunjangan biasa, tapi lebih merupakan budaya tahunan menyambut hari raya. Justru akan sangat ganjil di masyarakat jika seorang pegawai tidak menerima THR pada saat menjelang hari raya.

Praktik itulah yang kemudian berkembang di kebanyakan instansi pemerintah. Suka atau tidak suka, seorang atasan akan mengupayakan segala cara guna memenuhi kebutuhan akan THR bagi pegawainya entah dengan cara ilegal, cara yang dianggap legal, atau cara lainnya.

Dilema memang jika terus di ulas lebih dalam. Jika ditanya siapa yang salah, mungkin bukan semata-mata salah PNS yang menerima, bukan juga semata-mata salah atasan yang memberi. Tapi bisa jadi budaya birokrasi kita yang harus diubah. Selain sistem keuangan juga yang harus memihak kepada pemenuhan kesejahteraan atau setidaknya kecukupan kebutuhan pegawai negeri sipil.

Teguh Arifiyadi, SH

Senin, 24 Agustus 2009

Tentang Seni Korupsi Ala PNS; Pemalsuan Dokumen Perjalanan Dinas

Sejak diterbitkan peraturan baru yang diterbitkan menteri keuangan tentang perjalanan dinas pegawai negeri sipil, pegawai diwajibkan menyampaikan seluruh pertanggungjawaban perjalanan dinas dengan dana yang bersumber dari APBN/APBD atas dasar at cost atau segala pengeluaran didasarkan atas jumlah pengeluaran yang sesungguhnya (riil cost). Konsep ini sebetulnya dibuat untuk meminimalisir penyimpangan dalam pengeluaran perjalanan dinas. Dengan melampirkan bukti-bukti perjalanan dinas seperti tiket pesawat, bill hotel menginap, bukti fisik pembayaran airport tax dan boardingpass dan lain-lain, harapannya adalah tidak ada lagi perjalanan dinas fiktif pegawai. Konsekuensi dari peraturan ini adalah dengan dinaikannya uang harian perjalanan dinas bagi seseorang yang melakukan perjalanan dinas dengan dana APBN/APBD.

Segera setelah diterbitkannya SPPD, seorang yang ditunjuk untuk melakukan perjalanan dinas menjalankan kewajibannya sesuai dengan waktu yang ditentukan. Surat perintah perjalanan dinas (SPPD) adalah surat perintah yang dikeluarkan oleh pimpinan instansi pemerintah kepada pegawai negeri sipil (PNS) dalam rangka melaksanakan tugas tertentu di lingkungan satuan kerja (satker) di luar instansi PNS tersebut.

Sejak proses inilah model generasi baru modus penyimpangan perjalanan dinas dilakukan. Dengan dalih pengumpulan dana non-budgeter, pejabat atau institusi pemberi tugas tida segan-segan memunculkan nama pegawai dalam surat tugas, yang dalam realisasinya pegawai tersebut tidak melakukan perjalanan dinas. Semua pertanggungjawaban perjalanan dinas terkait at cost spenuhnya diurus oleh anggota lain yang bertugas ataupun oleh institusi bersangkutan. Singkatnya, nama pegawai yang namanya tercantum namun tidak malakukan perjalanan dinas hanya tinggal membubuhkan tanda tangan pertanggungjawaban keuangan.

Lalu bagaimana pertanggungjawaban keuangan dibuat?bagaimana dengan tiket pesawat (jika menggunakan pesawat) dipertanggungjawabkan?bagaimana juga dengan bukti fisik pembayaran airport tax, boardingpass, bill hotel yang harus dilampirkan?bagaimana dengan tanda lapor di daerah diberikan?

Oknum pegawai, pejabat, dan pihak berkepentingan tidak pernah kehabisan akal untuk menciptakan kreasi baru dalam rangka mendapatkan keuntungan secara ilegal dari perjalanan dinas. Dorongan atas kebutuhan pribadi, kebutuhan organisasi, dan terbawa arus sistem yang ada, tampaknya memberi pilihan yang lebih kuat bagi seseorang untuk melakukan segala cara. Tidak sampai 1 tahun sejak aturan perjalanan dinas metode at cost diterapkan, kegagalan sistem ini sudah terlihat.

Bukan rahasia lagi jika pertanggungjawaban keuangan dapat dengan mudah dipalsukan. Tiket pesawat, airport tax, boardingpass, bill hotel dapat dengan mudah dipesan melalui agen travel dengan harga yang sangat murah. Atau jika sedikit kreatif, siapapun dapat membuat tiruan tiket pesawat, bill hotel, atau dokumen lainnya. Harga tiket pesawat dan tarif hotel pun bisa dibuat dengan jumlah sesuai keinginan pemesan. Sungguh praktik penyimpangan ini sangat mudah, murah, dan praktis.

Lalu seberapa takut aksi tersebut akan diketahui oleh institusi pengawas (Inspektorat, BPKP, atau BPK)?

Institusi pengawasan dalam melakukan pemeriksaan perjalanan dinas akan melihat beberapa aspek:

1. Pemeriksaan tentang efektifitas, efisiensi, dan ekonomis atas perjalanan dinas yang dilakukan, selain aspek kebutuhan atas perjalanan dinas tersebut.
2. Pemeriksaan benar tidaknya pegawai bersangkutan bertugas pada watu yang ditentukan dalam surat tugas. Pemeriksaan dilakukan dengan mencocokan daftar hadir, surat tugas lainnya, ataupun konfirmasi kepada yang bersangkutan.
3. Pemeriksaan hasil laporan tugas perjalanan dinas pegawai bersangkutan
4. Pemeriksaan dokumen pertanggungjawaban keuangan ysng meliputi:
- kesesuaian uang harian dan tarif hotel yang diterima pegawai sesuai dengan standar biaya umum yang ditetapkan Depkeu
- kelengkapan bukti pendukung perjalanan dinas antara lain; tanda lapor, tiket pesawat, boardingpass, bill hotel.

Pada aspek ke-4, pemeriksa akan memastikan lampiran pendukung perjalanan dinas lengkap. Sedangkan aspek keaslian lampiran pendukung biasanya sukar diketahui, karena sebagian besar dapat dikatakan persis dengan aselinya. Pemeriksa akan sangat sulit membedakan antara tiket pesawat aseli dan aspal (aseli tapi palsu). Sementara untuk bukti pembayaran hotel (bill hotel) dapat dengan mudah dimintakan pegawai bersangkutan di hotel tempat menginap dengan mencantumkan berapapun jumlah orang, dan tarif sesuai keinginan. Selain itu, dokumen tanda lapor yang ditandatangani pejabat di daerah yang dikunjungi, dapat dengan mudah diberikan oleh pejabat yang bersangkutan tanpa harus melihat berapa banyak pegawai yang melakukan perjalanan dinas berdasarkan surat tugas.

Sebetulnya pemeriksa dapat melakukan cek terhadap daftar manifest pesawat (daftar penumpang pesawat) pada perusahaan penerbanangan yang digunakan pegawai bersangkutan pada saat melakukan perjalanan dinas. Namun tampaknya tidak mudah untuk mendapatkan daftar manifest pesawat terebut. Terlebih butuh waktu dan tenaga yang tidak sedikt untuk memverifikasi pegawa-pegawai yang melakukan perjalanan dinas yang jumlahnya bisa mencapai ratusan bahkan ribuan nama dalam satu kali periode pemeriksaan. Yang bisa dilakukan pemeriksa dalam kasus tersebut hanya membidik pegawai yang tidak melengkapi lampiran pendukung perjalanan dinas atau dilengkapi namun dapat dilihat secara kasat mata jika dokumen tersebut tidak aseli.


Itulah sedikit ulasan tentang bagaimana modus penyimpangan perjalanan dinas dilakukan.

Tidak siginfikan memang jika dilihat secara mikro kasus per kasus, namun jika dilihat secara makro maka bisa dipastikan kerugian negara mencapai puluhan miliar setiap tahunnya akibat praktik akal-akalan perjalanan dinas.

Tentu tidak ada api jika tanpa asap, praktik penyimpangan dalam perjalanan dinas ini tak lain muncul akibat rendahnya kesejahteraan pegawai, lemahnya pengawasan, buruknya budaya dan sistem birokrasi, dan sifat rakus oknum pegawai/pejabat yang dengan sengaja mengumpulkan dana non-budgeter untuk kepentingan pribadi atau golongan.

Jika bicara masalah solusi, akan lebih mudah dibuat jika penyebabnya diminimalisir terlebih dahulu. Kuncinya tingkatkan kesejahteraan pegawai, perketat pengawasan, perbaiki budaya dan sistem birokrasi, dan tindak tegas oknum pegawai/pejabat yang menyimpang dari ketentuan.


Penulis: Teguh Arifiyadi, SH

Membedah Mental Koruptif Pegawai

Pada era orde baru, istilah korupsi menjadi icon yang melekat bagi para pegawai yang bekerja di lingkungan pemerintahan. Namun dengan pemahaman yang luas tentang korupsi , memberi makna bahwa korupsi tidak saja dilakukan oleh pegawai pemerintah, melainkan juga melibatkan unsur swasta, professional, bahkan partai politik. Korupsi disini direduksi pengertiannya menjadi perbuatan yang dapat mengakibatkan kerugian terhadap keuangan Negara dengan bermacam-macam unsur yang terdapat didalamnya.

Contoh kongkret perbuatan korupsi yang terjadi sehari-hari adalah; melakukan kegiatan fiktif, perjalanan fiktif, tiket fiktif, gratifikasi, dan lain-lain. Perbuatan yang mana secara sadar maupun tidak sadar dilakukan oleh hampir setiap instansi pemerintah maupun swasta.

Ada baiknya kita memahami sejauh apa motif, modus, maupun keinginan orang untuk melakukan korupsi. Penulis mencoba membedah karakter orang yang korupsi (corruptor) guna memberi pemahaman bahwa tidak semua corruptor dapat dipandang dan dipersalahkan dengan bobot yang sama.

Penulis dengan pandangan argumentatif membagi empat tingkatan (level) karakter koruptif, antara lain:

1. Level Pertama
Karakter ini adalah karakter idealis. Segala macam bentuk korupsi selalu dihindari. Karakter ini membangun keyakinan diri bahwa segala sesuatu yang dilakukan harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan kejujuran. Kesadaran untuk menghindari korupsi muncul dari diri sendiri, tanpa paksaan dari orang lain, maupun paksaan karena peraturan. Bentuk korupsi terkecilpun akan dilawannya. Bahkan jika harus mengorbankan kepentingan pribadinya demi mempertahankan idealitasnya.

2. Level kedua
Karakter ini karakter moderat dalam hal menyikapi bentuk korupsi. Karakter ini menyadari bahwa sangat sulit menghindari korupsi dalam lingkungan pekerjaannya. Namun demikian, karakter ini tidak pernah menciptakan peluang sendiri untuk melakukan korupsi. Korupsi yang dilakukan hanya semata karena pola sistem maupun budaya kerja di sekitarnya. Karakter ini sadar bahwa yang dilakukannya adalah kesalahan. Karakter ini tidak memiliki keberanian melawan dan menghindari korupsi meskipun itu mampu dilakukannya.

3. Level Ketiga
Karakter ini pada prinsipnya hanya follower. Karakter ini tidak memiliki kemampuan berinisiatif untuk melakukan korupsi. Kalaupun karakter ini melakukan korupsi, itu semata karena peluang yang tersedia. Meskipun peluang mendapatkan hasil korupsi lebih banyak terbuka lebar, karakter ini cenderung tidak agresif mengambil peluang tersebut. Baginya korupsi dilakukan hanya sebatas memenuhi kebutuhan hidup yang dirasa kurang akibat penghasilan mereka yang tidak mencukupi. Karakter ini menganggap bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk menghindari korupsi.

4. Level Keempat
Karakter ini adalah inisiator. Karakter ini memiliki kemampuan untuk menciptakan peluang korupsi. Karakter ini secara sadar memanfaatkan kelemahan sistem untuk menciptakan peluang korupsi. Karakter ini membangun sistem baru atau memodifikasi sistem lama menjadi sistem yang membuka ruang orang melakukan korupsi. Motif korupsi bukan sekedar memenuhi kebutuhan minimal, namun memaksimalkan apa yang dapat mereka peroleh. Hasil korupsi yang mereka dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Karakter ini meyakinkan orang bahwa apa yang dilakukaknya adalah hal yang lumrah dan dapat ditiru. Hal itu dilakukan dalam rangka menjalin kebersamaan untuk menghindari risiko hukum perorangan.

Dari keempat level karakter corruptor tersebut, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Resistensi lingkungan terhadap karakter-karakter tersebut bergantung pada budaya kerja setiap tempat dimana karakter tersebut berada.

Namun demikian media massa sebagai kontrol sosial memandang bahwa semua 3 karakter terburuk mempunyai bobot kesalahan yang sama, sehingga menempatkan karakter-karakter tersebut sebagai seluruh obyek yang paling tersudut tanpa memandang modus, motif, maupun karakter individu masing-masing prilaku. Akibatnya porsi keadilan tidak terpenuhi secara proporsional bagi karakter koruptor follower dan moderat. Bahkan cenderung dikorbankan untuk menyelamatkan karakter inisiator yang memang sebagian secara hierarkis lebih cerdas dan memiliki kekuasan di banding yang karakter lainnya.

Penulis termasuk orang yang setuju bahwa untuk menangkap corruptor, hukum harus melakukan tebang pilih. Hukum tidak memiliki kemampuan untuk menunjukan peran represif kepada seluruh pelaku kejahatan. Pola tebang pilih akan lebih menekankan peran preventif hukum dalam mengatasi kejahatan. Bagaimana jadinya jika semua pelaku korupsi baik korupsi dalam kategori ringan sampai kategori berat (berdasarkan tingkat kerugiannya) harus ‘dibersihkan’. Tentu hukum tidak akan sanggup melakukakan hal tersebut. Namun yang terpenting adalah pola tebang pilih bukan diarahkan kepada kepentingan golongan/kelompok tertentu atau dalam rangka menyelamatkan golongan/kelompok tertentu.

Ibarat kata pepatah, untuk menangkap seekor tikus bukan berarti harus membakar seluruh lumbungnya. Demikian pula hukum harus bekerja secara selektif untuk membersihkan korupsi dengan metode yang paling efektif.

Penulis: Teguh Arifiyadi, SH

–Tentang Seni Korupsi Ala PNS– Bagian Pertama; Dana Non-Budgeter

Istilah kata ”korupsi” tampaknya sangat tabu diucapkan oleh sebagian Pegawai Negeri Sipili (PNS). Entah apakah karena memang berbicara masalah korupsi bukan hal yang sederhana, atau memang karena ketakutan psikologis PNS yang merasa juga bagian dari pelaku?

Dalam Kamus Hukum korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Kamus Lexien Webster (1978) menyebut korupsi dalam pengertian kebejatan; ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian. Dalam bahasa hukum kita, korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (UU No. 20 Tahun 2001). Tentu tidak bisa diartikan secara mentah, namun juga harus dilihat unsur-unsur yang terkandung didalamnya.

Korupsi tidak akan terlepas dari sebuah seni. Banyak definisi tentang seni. Penulis dalam hal ini lebih menitikberatkan definisi seni sebagai sebuah hasil kreasi / karya manusia. Kaitannya dengan korupsi adalah bahwa korupsi yang dilakukan manusia secara turun temurun, terus menerus, dengan berbagai metode perlindungan diri, dan dengan berbagai cara adalah juga karya manusia yang mengkreasikannya dalam bentuk perbuatan. Hasil-hasil seni manusia dalam perbuatan korupsi sangat beragam. Mulai dari kegiatan suap sebagai bentuk gratifikasi, kolusi, pengumpulan dana non-budgeter, pemerasan dan lain sebagainya.

Tulisan ini secara khusus mengupas tentang dana non-budgeter yang sampai saat ini masih dianggap sebagai illegal budget karena tidak ada peraturan yang mengaturnya.

Istilah dana non-budgeter memang bukan istilah hukum. Istilah ini mulai banyak disebut sejak era reformasi 1998. Berbagai kasus korupsi erat dikaitkan dengan istilah ini. Sebagian PNS menyebutnya ’dana taktis’ atau ’dana yang sudah dipertanggungjawabkan’ atau ’dana operasional lainnya’ atau ’dana tak bertuan’. Padahal secara prinsip dana non-budgeter adalah dana-dana yang sengaja dikumpulkan secara ilegal oleh instansi atau unit instansi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendesak atau kebutuhan lainnya dil luar dana legal yang dialokasikan APBN. BPK menyebut bahwa dana non-budgeter ini jumlahnya bisa mencapai 4-10 triliun rupiah di instansi-instansi pemerintah di seluruh Indonesia. Angka yang luar biasa besarnya!

Padahal undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara secara tegas melarang seluruh pejabat dan aparatur negara mengelola dan memiliki dana non-budgeter. Semua anggaran (pendapatan, pengeluaran, penerimaan dan pembiayaan) harus tercatat dalam APBN atau APBD yang harus dipertanggungjawabkan kepada parlemen pada akhir tahun anggaran. Lalu dari mana dana non-budgeter bersumber?

Menurut pengamatan dan pengalaman penulis, Dana Non-Budgeter dapat bersumber dari;

1. Kewajiban tidak tertulis atau ”upeti” setiap rapelan gaji/penghasilan pegawai lainnya kepada unit satuan kerja (satker) melalui bendahara masing-masing.
Pengumpulan uang perjalanan dinas fiktif dari pegawai yang tidak benar-benar melakukan perjalanan dinas (pegawai sebatas menandatangani pertanggungjawaban keuangan).
2. Uang/barang pemberian dari rekanan/perusahaan yang memenangkan tender/lelang di unit kerja berkaitan (entah itu yang bersifat sukarela karena dianggap ‘etika’ rekanan maupun yang bersifat ’sedikit’ memaksa).
3. Uang/barang pemberian dari perusahaan atau pihak ketiga yang memiliki kepentingan langsung/tidak langsung dalam dengan maksud/harapan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan instansi yang bersangkutan atau maksud lainnya.
4. Penggelapan pajak oleh oknum tertentu. Namun, teknik ini hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu dengan kompetensi mencukupi.
5. Hasil manipulasi pertanggungjawaban keuangan (misalnya kuitansi palsu, tandatangan palsu, stempel palsu, bahkan kegiatan fiktif).
6. ’Upeti’ satuan kerja kepada satuan kerja lain yang berhubungan dengan kepentingannya (misalnya dari saker ke pemeriksa atau auditor internal/eksternal atau dari satker ke pejabat satker lain).
7. Bunga bank dari dana non-budgeter maupun dana resmi APBN yang sengaja diendapkan di rekening orang perorangan.
8. Hasil investasi dari pemanfaatan dana non-budgeter maupun dana resmi APBN yang tidak dilaporkan sebagai PNBP.

Setidaknya uang-uang tersebut diatas kemudian diorganisir untuk dapat digunakan sebagai:

1. Uang/barang dalam rangka jamuan kepada tamu khusus maupun kepada pejabat yang berkunjung diluar anggaran DIPA;
2. Dana bantuan/tambahan untuk kegiatan-kegiatan perayaan hari besar keagamaan dan hari besar nasional tertentu;
3. Uang/barang dalam rangka pemenuhan Tunjangan Hari Raya (THR) bagi Pegawai dan Pejabat;
4. Upeti/hadiah/gratifikasi kepada pejabat di satuan kerja (satker) bersangkutan maupun di satker lain di akhir tahun anggaran;
5. Upeti/hadiah/gratifikasi kepada anggota DPR dalam hal ada kaitannya dengan kepentingan Satker maupun kepentingan Departemen/Lembaga Non-Departemen;
6. Upeti/hadiah/gratifikasi kepada Partai Politik (parpol) maupun oknum tertentu dalam rangka pemilu, Pilpres, Pilkada dll;
7. Gratifikasi atau pemberian hadiah kepada pegawai/pejabat/ institusi dangan kepentingan tertentu.
8. Dana talangan kegiatan-kegiatan yang anggarannya belum turun.
9. Dana tambahan untuk konsumsi rapat formal/informal, sumbangan bagi pegawai yang sakit keras, tambahan uang duka bagi pegawai atau keluarga pegawai yang meninggal dunia.
10. Sumbangan untuk kegitan sosial lainnya (bantuan rumah ibadah, yayasan, pendidikan, LSM, dan lain-lain yang tidak dianggarkan dalam DIPA).

Lalu kenapa uang-uang tersebut harus ada? Apakah karena APBN kita tidak mengenal istilah pengalokasian uang jamuan khusus atau entertainment fee seperti di perusahaan swasta (semisal bank, asuransi dll)? Apakah aturan larangan atas THR memperhatikan juga budaya dan kebiasaan masyarakat kita? Padahal dalam praktiknya uang tersebut tetap dikeluarkan.

Apakah juga karena APBN kita tidak mengalokasikan atau kurang dalam pengalokasian mata anggaran untuk kegiatan hari besar keagamaan dan hari besar nasional (misalnya maulid nabi, Idul Fitri, Idul Adha, Natal, waisak, hari kemerdekaan, hari kebangkitan nasional, kegiatan-kegiatan sosial lainnya, dan lain-lain)?padahal pada kenyataannya kegiatan tersebut selalu di lakukan di setiap instansi.

Terlepas dari sebab-musabab diatas, setidaknya ada satu titik kesimpulan yang bisa diambil yakni bahwa budaya “korupsi berjamaah” secara sadar maupun tidak sadar sudah menjadi sebuah praktik rutin di instansi pemerintah. Tujuan penggunaan dana non-budgeter untuk kepentingan yang baik dan legal maupun yang tidak baik/ilegal pada prinsipnya tetap melanggar ketentuan yang ada. Tapi dalam praktiknya memang sangat sulit untuk dihindari.

Jika dibahas secara mendalam, akar permasalahannya sangat panjang dan seperti lingkaran setan yang saling berkaitan satu sama lainnya. Memberantas korupsi tidak semudah membalik telapak tangan. Tapi setidaknya dalam diri aparatur pemerintah hendaknya ditanamkan niat bersih untuk menghindari atau setidaknya meminimalisasikan praktik korupsi dengan segala macam bentuknya.

Penulis: Teguh Arifiyadi, SH

Kamis, 06 Agustus 2009

Perlindungan Konsumen E-Commerce Dalam Transaksi Perdagangan Internasional; Hukum Mana yang Berlaku?

Persoalan abadi antara hukum dan teknologi kembali terjadi. Keunggulan internet sebagai salah satu model teknologi informasi memberikan reaksi yang beragam terhadap persoalan hukum yang timbul. Penggunaan media internet sebagai jalur perdagangan baru merupakan jawaban atas majunya perdagangan internasional. Internet mempelopori tumbuhnya transaksi perdagangan dengan menggunakan sarana elektronik atau yang kemudian dikenal dengan electronic commerce.
Electronic Commerce Transaction adalah transaksi dagang antara penjual dengan pembeli dalam rangka penyediaan barang atau jasa termasuk melelangkan barang/jasa atau pengalihan hak dengan menggunakan media elektronik komputer maupun internet.
Pertumbuhan E-Commerce di seluruh dunia yang semakin pesat membawa dampak tersendiri bagi Indonesia. Meskipun pada kenyataannya, pertumbuhan e-commerce dipengaruhi oleh banyaknya penggunaan internet oleh suatu negara yang notabene pada akhirnya menempatkan Amerika Serikat dan China sebagai pengguna internet terbanyak di dunia. Indonesia sendiri boleh berbangga dengan menempatkan jumlah pengguna internet lebih dari 25 juta jiwa atau berada pada peringkat ke 5 pengguna internet terbesar di dunia dengan penetrasi sebesar 10,5% sampai dengan tahun 2008. Angka ini seiring dengan tingkat penetrasi penggunaan internet di asia yang mencapai hampir 40% dari seluruh pengguna internet di dunia . Sayang tidak ada data resmi yang menyebutkan berapa tingkat pertumbuhan e-commerce di Indonesia.

Tingginya pengguna internet memicu pelaku usaha untuk menempatkan produk mereka dalam layanan-layanan online berbasis web atau yang kemudian lebih dikenal dengan istilah perdagangan elektronik (e-commerce). Kejelian pelaku usaha untuk memanfaatkan internet sebagai sarana promosi, transaksi, toko online, maupun sarana bisnis lainnya tidak dibarengi dengan lahirnya perangkat perundang-undangan yang mengatur hal tersebut. Akibatnya banyak pihak yang dirugikan akibat kekosongan hukum dalam cyberspace.

Baru pada awal tahun 2008, pemerintah Indonesia yang digawangi oleh Depkominfo membidani lahirnya Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU ITE lebih khusus lagi pada Bab V pasal 17 sampai dengan pasal 22 menciptakan suatu rezim aturan baru dibidang transaksi elektronik yang selama ini kosong. Meskipun aturan tentang transaksi elektronik tidak diatur secara khusus dalam suatu undang-undang, keberadaan pasal ini sangat penting untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pengguna sarana e-commerce. Terlebih saat ini pemerintah tengah mematangkan lahirnya Peraturan Pemerintah di bidang Transaksi Elektronik.

Perlindungan hukum dalam transaksi elektronik pada prinsipnya harus menempatkan posisi yang setara antar pelaku usaha online dan konsumen. Transaksi elektronik dalam e-commerce tentu saja melibatkan pelaku usaha dan konsumen. Meskipun terlihat sebagai sebuah transaksi maya, transaksi elektronik dalam e-commerce di Indonesia harus tetap tunduk pada ketentuan yang tercantum dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Keberadaan UU ITE dapat dijadikan partner hukum UUPK untuk saling mendukung satu sama lainnya.

Permasalahannya adalalah bagaimana jika pelaku usaha dalam e-commerce tersebut tidak berada pada wilayah domisili yurisdiksi Indonesia. Inilah yang kemudian disebut sebagai salah satu kelemahan penggunaan UU Perlindungan Konsumen dalam transaksi e-commerce. UUPK secara tegas menekankan bahwa aturan tersebut hanya dapat diberlakukan kepada pelaku usaha yang bergerak di dalam wilayah hukum Republik Indonesia.

Jika kembali pada UU ITE, secara jelas menyebutkan bahwa prinsip utama transaksi elektronik adalah kesepakatan atau dengan ”cara-cara yang disepakati” oleh kedua belah pihak (dalam hal ini pelaku usaha dan konsumen). Transaksi elektronik mengikat para pihak yang bersepakat Sehingga dalam sudut pandang perlindungan konsumen, konsumen yang melakukan transaksi elektronik dianggap telah menyepakati seluruh syarat dan ketentuan yang berlaku dalam transaksi tersebut. Hal ini berkenaan dengan klausula baku yang disusun oleh pelaku usaha yang memanfaatkan media internet.

Klausula baku dalam transaksi e-commerce dapat menempatkan posisi yang tidak seimbang antara pelaku usaha dan konsumen. Meskipun dalam UU Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengadung unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut :
1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;
2. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

Persoalan perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce tidak terbatas pada aspek penawaran dan penerimaan saja. Namun lebih jauh mencakup persoalan mengenai ruang lingkup, sengketa, transparansi, dan lain-lain.

Lalu bagaimana jika terjadi perselisihan/sengketa antara pelaku usaha dan konsumen dalam transaksi elektronik?
Di Indonesia, dalam UU ITE disebutkan bahwa transaksi elektronik dapat dituangkan dalam kontrak elektronik. Dalam kontrak elektronik tersebut dapat ditentukan pilihan hukum mana yang digunakan dalam menyelesaikan perselisihan (dispute). Jika pilihan hukum tidak dilakukan, maka yang berlaku adalah hukum yang didasarkan pada asas hukum perdata internasional. Begitupun dengan pilihan forum pengadilan mana yang berhak. Para pihak dalam transaksi e-commerce dapat menentukan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya mana yang dipilih dalam e-contract. Dan jika tidak dilakukan pemilihan forum, maka penyelesaian sengketa akan kembali pada asas dalam Hukum Perdata Internasional.

Pilihan hukum dalam kontrak komersil selalu menjadi kontroversial. Di satu sisi, ia harus mencerminkan kesenjangan antara daya tawar dari konsumen dan profesional. Di sisi lain, kontrak tersebut harus mencapai tingkat keseimbangan antara para pihak. Perkembangan e-commerce membuat masalah semakin rumit. Beberapa peraturan konvensional tidak dapat di implementasikan secara efektif dalam e-kontrak .

Berbeda dengan Uni Eropa yang secara tegas pada 4 Juni 2000 menerapkan aturan untuk melindungi kepentingan konsumen yang kemudian dikenal dengan Petunjuk Penjualan Jarak Jauh. Petunjuk tersebut menerapkan persyaratan minimum tertentu untuk bisnis melalui fasilitas internet .

Dalam hal tidak dicantumkannya pilihan hukum dalam kontrak e-commerce, sebetulnya ada beberapa teori yang berkembang untuk menentukan hukum mana yang berlaku, diantaranya adalah :

1. Mail box theory (Teori Kotak Pos)
Dalam hal transaksi e-commerce, maka hukum yang berlaku adalah hukum di mana pembeli mengirimkan pesanan melalui komputernya. Untuk ini diperlukan konfirmasi dari penjual. Jadi perjanjian atau kontrak terjadi pada saat jawaban yang berisikan penerimaan tawaran tersebut dimasukkan ke dalam kotak pos (mail box).

2. Acceptance theory (Teori Penerimaan)
Hukum yang berlaku adalah hukum di mana pesan dari pihak yang menerima tawaran tersebut disampaikan. Jadi hukumnya si penjual.

3. Proper Law of Contract
Hukum yang berlaku adalah hukum yang paling sering dipergunakan pada saat pembuatan perjanjian. Misalnya, bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia, kemudian mata uang yang dipakai dalam transaksinya Rupiah, dan arbitrase yang dipakai menggunakan BANI, maka yang menjadi pilihan hukumnya adalah hukum Indonesia.

4. The most characteristic connection
Hukum yang dipakai adalah hukum pihak yang paling banyak melakukan prestasi.
Dari keempat model pilihan hukum tersebut diatas tampaknya UU ITE lebih mengedepankan pilihan hukum dan pilihan forum pengadilan pada kesepakatan para pihak. Meskipun secara eksplisit teori mail box dan acceptance menjadi dasar pijakan tentang kapan terjadinya transaksi. Konsep ini diuraikan dalam pasal 22 UU ITE yang menyebutkan bahwa akad dari transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui penerima. Meskipun demikian tidak ada satupun teori tentang penerimaan (receipt theory) yang mampu secara menyeluruh menyelesaikan persoalan lain tentang pembuktian dari transaksi itu sendiri .
Kedudukan hukum dari konsumen tidak bisa menjadi satu-satunya dasar bagi konsumen untuk mendapatkan perlindungan hukum di tempat konsumen berdomisili. Dalam transaksi e-commerce yang mengedepankan klausula baku, perlindungan terhadap pelaku usaha dengan sendirinya terbentuk setelah konsumen menyatakan ”I agree” terhadap syarat dan ketentuan yang diminta pelaku usaha. Itu artinya konsumen berada pada posisi yang tidak seimbang.
Persoalan pokok yurisdiksi (cyberjurisdiction) baru menjadi hal yang sangat penting apabila timbul sengketa/perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha. Kondisi ini akhirnya memaksa konsumen untuk cenderung mengedepankan unsur kepercayaan kepada pelaku usaha pada bisnis online sebelum membeli produk/jasa mereka.
Penerapan yurisdiksi kaitannya dengan transaksi e-commerce setiap negara dapat berbeda. Karakter e-commerce yang mampu melintasi batas antar negara membutuhkan keseragaman hukum antar satu negara dengan negara lainnya khususnya mengenai yurisdiksi. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan konsumen untuk bertransaksi dengan aman dan mendapatkan kepastian hukum yang adil dan sesuai (equal).
Masaki Hamano membedakan pengertian cyber jurisdiction dari sudut pandang dunia cyber/virtual dan dari sudut padang hukum. Dari sudut dunia virtual, cyberjurisdiction sering diartikan sebagai kekuasaan sistem operator dan para penggunauntuk menetapkan aturan dan melaksanakannya pada suatu masyarakat di ruang cyber/virtual. Dari sudut pandang hukum, cyberjurisdiction atau jursidiction in cyberspace adalah kekuasaan fisik pemerintah dan kewenangan pengadilan terhadap pengguna internet atau terhadap aktivitas mereka di ruang cyber . Hal itu menunjukkan perbedaan dua sudut pandang dalam menerapkan cyberjursidiction.
Sehingga muncul pendapat bahwa bahwa prinsip-prinsip tradisional dalam penerapan cyberjurisdiction tidak sesuai dan mengacaukan apabila diterapkan dalam cyebrspace .
Pendapat ini ditentang oleh Barda Nawawi Arief . Menurut Barda, Sistem hukum dan jurisdiksi nasional/teritorial memang mempunyai keterbatasan karena tidaklah mudah menjangkau pelaku kejahatan di ruang cyber yang tidak terbatas itu. Namun tidak berarti aktivitas di ruang cyebr dibiarkan bebas tanpa hukum. Ruang cyber merupakan juga bagian atau perluasan dari ’lingkungan” (environment) dan lingkungan hidup (life environment) yang perlu dipelihara dan dijaga kualitasnya. Jadi juga merupakan suatu kepentingan hukum yang harus dilindungi .
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya konsumen itu segan berperkara, apalagi apabila biaya yang dikeluarkan lebih besar dari kemungkinan hasil yang akan diperoleh . Hal itu pula yang terjadi dalam transaksi e-commerce. Dalam transaksi e-commerce, karakteristik perkara yang muncul dalam perlindungan konsumen lebih kompleks dibanding transaksi nyata. Persoalan yurisdiksi dan pembuktian dapat menjadi hambatan dan pertimbangan konsumen untuk mengajukan gugatan.
Contoh Kasus Perlindungan Konsumen e-Commerce di Amerika
Berawal dari pencantuman harga monitor Hitachi 19 inci pada Februari 1999, Buy.com mencantumkan harga sebesar 164,50 USD atau lebih rendah 400 uSD dari harga normalnya selama empat hari. Buy.com memberlakukan harga yang keliru tersebut pada 143 monitor. Namun pada kenyataannya Buy.com menolak untuk mengirimkan pesanan beberapa konsumen yang terlanjur memesan barang tersebut.
Konsumen yang tidak memperoleh pesanan, menuduh Buy.com telah memberikan harga dan kemudian mengubahnya secara sengaja dengan tujuan untuk menarik pelanggan melalui webstrore tersebut. Namun dalam pembelaannya Buy.com mengaku hal tersebut merupakan sebuah ketidaksengajaan atas kesalahan dalam memasukkan data.
Akibat kesalahan tersebut Buy.com setuju untuk membayar sebesar 575 ribu USD untuk menyelesaikan sengketa pengadilan yang pertama atas harga barang yang salah di cyberspace .
Di Indonesia sengketa masalah-masalah serupa sepengetahuan penulis belum pernah termuat dalam laporan media maupun dalam pengadilan. Meskipun dalam kenyataannya, sengketa konsumen dalam cyberspace sebetulnya sangat mungkin terjadi di manapun termasuk di Indonesia.
Dalam hal sengketa konsumen e-commerce terjadi di Indonesia, konsumen dapat memanfaatkan peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Apabila mencermati peraturan yang mengatur tentang gugatan dalam sengketa konsumen, maka dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui BPSK akan lebih cepat dibandingkan apabila sengketa tersebut dibawa ke jalur litigasi (pengadilan). Msekipun sifat putusan yang mengikat dan final BPSK pada teorinya dapat diajukan ke Pengadilan Negeri dan MA.
Dalam transaksi e-commerce, posisi BPSK sebagai badan yang memfasilitasi penyelesesaian sengketa konsumen menjadi perhatian serius. Hal ini menyangkut kepercayaan para konsumen (cyber shopper) untuk melimpahkan permasalahannya ke BPSK. Apalagi jika para pihak yang berperkara tidak menyebutkan klausula pilihan hukum dan pilihan pengadilan dalam perjanjian elektroniknya. Apabila hal ini terjadi tentunya semuanya akan merujuk kembali ke dalam ketentuan Hukum Perdata internasional.

Memahami Makna Corporate Social Responsibility Dalam Prinsip Good Corporate Governance (GCG)

Abstrak
Good Corporate Governance (GCG) bukan istilah baru dalam hukum perusahaan. Prinsip GCG yang dianut OECD dan beberapa lembaga lain menempatkan prinsip responsibility atau tanggung jawab sebagai pilar tegaknya GCG.
Implementasi prinsip responsibility salah satunya diterapkan dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan atau yang biasa di kenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR).
CSR yang pada awal mulanya sebagai kegiatan voluntary perusahaa, akhirnya pada beberapa negara menganut prinsip mandatory untuk penerapan CSR pada sektor perusahaan tertentu. Hal itulah yang menimbulkan perdebatan tentang perlu tidaknya CSR diatur dalam hukum normatif suatu negara.
Terlepas wajib atau tidaknya CSR di implementasikan perusahaan. Konsep tanggung jawab sesuai prinsip GCG harus tetap dijalankan perusahaan yang berkomitmen menjadi perusahaan yang memiliki nilai tambah (added value) sesuai dengan tujuan GCG.


Banyak upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja suatu perusahaan / organisasi. Salah satunya adalah dengan cara penerapan Good Corporate Governance (GCG). Munculnya corporate governance (CG) ini pada dasarnya dipacu oleh dua hal, yaitu perubahan lingkungan sangat cepat yang berdampak pada perubahan peta kompetisi pasar global dan semakin banyaknya pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan (stakeholders). Stakeholder adalah orang-perorangan atau suatu kelompok dengan kepentingan yang dilegitimasi pada suatu prosedur dan / atau aspek substansi dari aktivitas perusahaan.
Istilah Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan secara harfiah dapat diartikan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan. Sedangkan definisi CSR secara umum menurut World Business Council on Sustainable Development adalah komitmen dari bisnis/perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas. Definisi tersebut hampir sama dengan definisi yang dikemukakan Lucciola. Beliau mendefinisikan CSR sebagai "The commitment of the company to maintain an ethical behavior and to integrale environmental and social respect in all business activities". Definisi lain menyebutkan, CSR adalah tanggung jawab perusahaan untuk menyesuaikan diri terhadap kebutuhan dan harapan stakeholders sehubungan dengan isu-isu etika, sosial dan (ingkungan, di samping ekonomi. Atau bisa juga didefinisikan sebagai bagaimana perusahaan mengelola proses bisnisnya untuk menghasilkan dampak keseluruhan yang positif bagi masyarakat.
Definisi tanggung jawab sosial perusahaan dapat dilihat dari "model empat sisi" atau fourpart definition yakni ;
1. Tanggung jawab ekonomis, misalnya berbisnis dan mendapatkan keuntungan, memaksimalkan penjualan, meminimalkan biaya pengeluaran (cost) dan lain-lain.
2. Tanggung jawab hukum (legal), semisal keharusan membayar pajak, memenuhi persyaratan AMDAL, dan lain-lain.
3. Tanggung jawab ethical atau etis, misalnya perusahaan berlaku fair, tidak membeda-bedakan ras, gender, tidak korupsi, dan hal-hal semacam itu (do what is right, fair and just).dan,
4. Tanggung jawab discretionary (philanthropic) yakni tanggung jawab yang seharusnya tidak harus dilakukan, tapi perusahaan melakukan juga atas kemauan sendiri {konsep good corporate citizen).
Dalam konsep Intemasional Standars for Corporate Responsibility, inisiatif mengenai regulasi Corporate Social Responsibility (CSR) tertuang dalam tne 'Global Eighť yang didalamnya terdiri dari :
- The UN Global Compact
- ILO Conventions
- The OECD Guidelines for Multinasional Enterprises
- ISO 14000 Series
- AccountAbility 1000
- The Global Reporting Initiative
- The Globbal Sullivian Principles
- Social Accountability 8000
Di Indonesia, regulasi yang mengatur tentang penerapan prinsip CSR terdapat pada pasal 34 Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sedangkan aturan tentang tanggung jawab sosial perusahaan khususnya pada Badan Usaha Milik Negara diatur melalui Keputusan Menteri BUMN No. KEP-236/MBU/2003 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Keputusan iersebut didalamnya mengatur tentang hal-hal khusus mengenai tata cara atau prosedur pelaksanaan program kemitraan dan bina lingkungan yang wajib dilaksanakan oleh semua BUMN seperti misalnya tentang kualifikasi mitra binaan yang berhak mendapatkan pinjaman, hak dan kewajiban mitra binaan san BUMN terhadap Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), besarnya presentase dana maksimal yang dapat disalurkan BUMN untuk program tersebut dan lain-Iain. Sedangkan untuk perusahaan migas ketentuan lain diatur juga dalam pasal 11, butir 3p UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas.
Landasan hukum lain tentang program pengembangan masyarakat adalah pasal 110 UU No.22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah. Corporate Social Responsibility (CSR) yang dipraktikkan oleh perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia dapat dilihat dalam bentuk atau istilah Comunity Development (CD).

Titik Singgung CSR dan GCG
Corporate social responsiblity dalam prinsip good coorporate government (GCG) ibarat dua sisi mata uang. Keduanya sama penting dan tidak terpisahkan. Salah satu dari empat prinsip GCG adalah prinsip responsibility (pertanggung jawaban). Tiga prinsip GCG lainnya adalah fairness, transparency, dan accountability.

Ada perbedaan yang cukup mendasar antara prinsip responsibility dan tiga prinsip GCG lainnya. Tiga prinsip GCG pertama lebih memberikan penekanan terhadap kepentingan pemegang saham perusahaan (shareholders) sehingga ketiga prinsip tersebut lebih mencerminkan shareholders-driven concept. Contohnya, perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas (fairness), penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu (transparency), dan fungsi dan kewenangan RUPS, komisaris, dan direksi (accountability).

Dalam prinsip responsibility, penekanan yang signifikan diberikan pada kepentingan stakeholders perusahaan. Di sini perusahaan diharuskan memperhatikan kepentingan stakeholders perusahaan, menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, dan memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya. Karena itu, prinsip responsibility di sini lebih mencerminkan stakeholders-driven concept.

Dalam gagasan CSR, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini bottom lines lainnya, selain finansial adalah sosial dan lingkungan. Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan lingkungan hidup.

Tren global lainnya dalam pelaksanaan CSR di bidang pasar modal adalah penerapan indeks yang memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah mempraktikkan CSR. Sebagai contoh, New York Stock Exchange memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI) bagi saham-saham perusahaan yang dikategorikan memiliki nilai corporate sustainability dengan salah satu kriterianya adalah praktek CSR .

Tulisan ini mencoba melepaskan diri dari perdebatan tentang pentingnya CSR yang kemudian melahirkan Undang-undang No. 40 Tentang Perseroan Terbatas, bahwa setiap perusahaan yang melakukan aktivitas usaha di Indonesia harus mampu memberikan dampak positif terhadap masyarakat. Upaya tersebut diatas harus terlihat dari penerapan prinsip demokrasi ekonomi, efisiensi, keberlanjutan (sustainebility), dan berwawasan lingkungan. Bila konsep ini dikaitkan dengan pengertian CSR, sebenarnya tidak ada alasan bagi pengusaha Indonesia atau perusahaan untuk tidak menerapkan CSR dalam aktivitas usahanya, karena CSR ini telah menjadi amanat konstitusi.

Sejalan dengan prinsip, pengaturan dan implementasi GCG, maka CSR hendaknya dapat dijadikan sebagai ajang strategi bisnis bagi perusahaan melalui program dan kegiatan CSR untuk menggaet simpati masyarakat sekitar demi keberlangsungan usaha. Penerapan CSR secara voluntary atau mandotory tampaknya bukan lagi menjadi hal yang harus diperdebatkan. Yang terpenting adalah bagaimana peraturan pelaksana atas kebijakan tersebut memberi keadilan yang setara antara pelaku bisnis dan masyarakat.

Demikianlah titik singgung antara CSR dan GCG yang secara jelas menempatkan CSR sebgai salah satu bagian dari implementasi prinsip GCG.

DAFTAR BACAAN


-------------, “Cermati Calon Aturan Pelaksanaan CSR”, (Tabloid Kontan 27 September 2007)
-------------, “CSR Sebagai Stretegi Bisnis”, www.pertamina.com, 2004
-------------,” Kemiskinan Fokus CSR Asia”, (Harian Kompas 27 September 2007)
Bryan W. Husted, 2001, Toward a Model of Corporate Social Strategy Formulation, The Social Issues in Management Division, Academy of Management
http://www.jaiam.org/indonesia/case/btm/doc3.html, 2007
http://www.kehati.or.id/news/data/9.%20Mar2003%20Keaneka ragaman.pdf, 2007
http://www.valuepartners.com/vpsiíe/notizie/il+punto+di+vp+2002/cnf_021107_csr_ilucc.pdf, 2007
Charles Baudelaire, 2003, Corporate Governance Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia, Jakarta , PT Ikrar Mandiriabadi
Keputusan Menteri BUMN No. 117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Good Corporate Governance Pada Badan Usaha Milik Negara, www.bumn.go.id
Keputusan Menteri BUMN No. KEP-236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan, www.bumn.go.id
l Nyoman Tjager, 2003, Corporate Governance Tantangan dan Kesempatan Bagi Bisnis Indonesia, Jakarta, PT.Prentialindo
Malcom Mclntosh, Ruth Thomas, Deborah Leipzigerand Gill Coleman, 2003, Living Corporate Citizenship, Hali, FT Prentice Halí
Mubaryanto dan Suratmo M. Suparmoko, 1987, Metodelogi Penelitian Praktis, Yogyakarta, BP FE UGM
Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) , Departemen Hukum dan HAM RI
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kewajiban Sosial Perusahaan, Departemen Hukum dan HAM RI
Sita Supomo, Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI), (www.republika.co.id , 13 Agustus 2003).
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, CV Rajawali
Sofyan Djalil, “Corporate Social Responsibility for Banking Sector”, Seminar Nasional CSR, Hotel Imperial Aryaduta Karawaci, 7 Mei 2004
Tom Cannon, 1995, Corporate Responsibility, Jakarta, Elex Media Komputindo
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Departemen Hukum dan HAM RI
Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Departemen Hukum dan HAM RI
Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN, Departemen Hukum dan HAM RI
Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Departemen Hukum dan HAM RI
Winarno Surakhmad, 1994, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tekhnik, Bandung: Tarsito
http://www.indosolution.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=65&Itemid=1

Tanggung Jawab Produk Dalam Transaksi E-Commerce

Latar Belakang Masalah
Tanggung jawab produk dalam hukum perlindungan konsumen bukan merupakan hal baru. Posisi konsumen yang lemah di hadapan produsen/pelaku usaha memunculkan pemikiran perlunya suatu aturan yang berpihak kepada konsumen dan atau memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Siapa sebenarnya yang disebut konsumen?. Kata ‘konsumen’ yang menjadi pengertian umum berasal dari bahasa inggris “to consume” artinya memakan atau menggunakan suatu barang atau jasa. Sedangkan orang yang memakan atau menggunakannya disebut konsumen. Mengacu pada pengertian ini maka kita semua adalah konsumen. Itulah kenapa membicarakan konsumen menjadi sangat menarik dan antusias bagi banyak orang.

Pemikiran tentang perlunya perlindungan terhadap konsumen menjadi hal yang mutlak untuk diakomodir dalam peraturan perundang-undangan. Begitu pun dengan semakin menguatnya kesadaran konsumen di luar negeri yang memunculkan gerakan perlindungan konsumen yang perhatian utamanya adalah pada perjuangan hak-hak konsumen. Hak-hak konsumen dalam artian hak secara penuh baik untuk transaksi yang real maupun yang maya.

Dalam era teknologi informasi, transaksi konsumen pemahamannya menjadi lebih luas. Pasar jual beli yang ada tidak sebatas pasar yang terlihat tapi juga pasar yang maya. Maya disini belum tentu benar atau abstrak namun maya dalam arti tidak terlihat wujud fisik barang.

Dengan berlakunya UU No. 11 Tahun 2007 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, posisi hukum kontrak atas perjanjian dalam cyberspace sedah legitimated atau diakui secara hukum nasional maupun internasional. Hampir sebagian besar eprjanjian dalam cyberspace adalah perjanjian bisnis. Baik yang berkaitan dengan transaksi jual beli maupun kepentingan bisnis lainnya.

Dalam transaksi jual beli di cyberspace, konsumen memiliki banyak kelebihan dan kelemahan. Kelabihan yang paling nyata adalah posisi konsumen yang dapat memilih secara variatif produk yang akan di belinya. Pilihan atas produk ini menjadikan konsumen sebagai pemegang kendali untuk menentukan kualitas dan harga yang diinginkan. Disamping itu konsumen lebih leluasa menentukan metode pembayaran dan cara bertransaksi yang mudah dan efektif.

Namun demikian kelemahan mendasar dalam transaksi di cyberspace adalah pada aspek kepercayaan penjual. Tidak ada satupun lembaga atau instansi yang dapat memastikan bahwa semua penjual dalam layanan e-commerce adalah penjual dalam arti yang sebenarnya atau penjual yang sah secara hukum dan jujur benar-benar menjual barang yang ditawarkannya.

Sudah tidak terhitung berapa banyak kasus penipuan dalam transaksi yang berbasis internet tersebut. Posisi kelemahan konsumen inilah yang menjadi pekerjaan rumah besar pemerintah untuk membenahi aturan di bidang perlindungan konsumen di cyberspace. Salah satui yang menjadi isu utama dalam perlindungan konsumen di cyberspace adalah mengenai tanggung jawab produk.

Tulisan ini mencoba mebahas sekilas aspek hukum yang berkaitan dengan tanggung jawab produk dalam transaksi e-commerce.


Tanggung Jawab Produk Dalam E-Commerce
Tanggung jawab produk sendiri diatur dalam pasal 7 sampai pasal 11 UUPK. Pasal 7 mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha, antara lain harus ada itikad baik, memberikan informasi yang benar mengenai produk yang dihasilkan, melayani konsumen dengan jujur dan tidak diskriminatif dan lain sebagainya. Pasal 8 sampai pasal 11 berisi larangan-larangan bagi pelaku usaha dalam hal-hal yang menyangkut produk yang dihasilkan (pasal 8), ketika menawarkan produk (pasal 9), ketika menawarkan produk untuk diperdagangkan (pasal 10) dan ketika barang tersebut dijual secara obral maupun lelang (Pasal 11).

Dalam UU No. 8/1999 setidaknya memuat sembilan hak yang dimiliki konsumen antara lain :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan;
b. Hak untuk memilih barang;
c. Hak atas informasi;
d. Hak untuk didengar pendapatnya;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi;
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian;
i. Hak-hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak-hak tersebut tentu saja berlaku juga dalam transaksi e-commerce. Tidak ada pembatasan yang membuat aturan tersebut menjadi tidak berlaku lagi.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian dalam menjalankan transaksi dalam cyberspace adalah tentang informasi produk. Informasi ini dijadikan ukuran atas kualitas dan kuantitas barang yang ditawarkan.

Pentingnya informasi yang akurat dan lengkap atas suatu barang dan/atau jasa mestinya menyadarkan pelaku usaha untuk menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa berkualitas, aman dikonsumsi atau digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang wajar (reasonable) .

Disisi lain konsumen harus pula menyadari hak-haknya sebagai seorang konsumen sehingga dapat melakukan pengawasan sosial (social control) terhadap perbuatan dan prilaku pengusaha dan pemerintah. Bagaimanapun juga pada kenyataannya, konsumen pada masyarakat modern akan dihadapkan pada beberapa persoalan antara lain: Pertama, bisnis modern menampakkan kapasitas untuk mempertahankan produksi secara massal barang baru sehubungan dengan adanya teknologi canggih serta penelitian dan manajemen yang efisien. Kedua, banyaknya barang dan jasa yang dipasarkan berada di bawah standar, berbahaya atau sia-sia. Ketiga, ketidaksamaan posisi tawar merupakan masalahserius (kebebasan berkontrak). Keempat, konsep kedaulatan mutlak konsumen bersandar pada persaingan sempurna yang ideal, namun persaingan terus menurun sehingga kekuatan konsumen di pasar menjadi melemah .

Pelaku usaha dalam e-commerce memiliki perlakuan yang sama dengan pelaku usaha dalam perdagangan riil. Dalam berbagai potensi prilaku diatas, maka seorang pelaku usaha dapat dimintakan pertanggungjawabannya apabila karena tidak lengkapnya informasi terhadap suatu produk yang ternyata cacat atau berbahaya bagi konsumen. Hal ini dikenal dengan konsep tanggung jawab produk (product liability) .


Informasi dan Kriteria Produk E-Commerce Cacat/Berbahaya

Sebagaimana diketahui bahwa informasi produk mampu mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli atau tidak suatu produk. Oleh karena itu UU No. 8/1999 memberikan perlindungan kepada konsumen dengan melarang pelaku usaha melakukan penawaran, promosi atau iklan yang tidak benar atau menyesatkan terkait suatu produk.

Informasi diatas sebenarnya termasuk ada tidaknya cacat pada produk atau ada tidaknya potensi yang membahayakan konsumen bila produk tersebut digunakan. Bahkan setidak-tidaknya pelaku usaha memberikan peringatan pada produk, apabila dalam situasi atau keadaan tertentu produk tersebut berpeluang untuk merugikan atau membahayakan konsumen.

Meskipun di Indonesia transaksi e-commerce bisa dikatakan hanya sebagian kecil dibanding transaksi perdagangan riil, namun demikian perhatian terhadap informasi produk e-commerce tidak dapat diabaikan begitu saja. Informasi tetang produk cacat atau berbahaya merupakan informasi signifikan dalam sebuah produk.

Pelaku usaha harus menampilkan informasi tersebut dalam web ataupun blog usahanya. Produk yang informatif tentu akan lebih menarik minat pembeli dibandingkan produk yang hanya ditampilkan visualnya saja tanpa ada informasi pelengkap.

Produk cacat atau produk berbahaya tentu sangat aman bila dijual dalam perdagangan nyata. Hal itu tentu lebih menimbulkan sikap kehati-hatian konsumen terhadap barang yang akan di belinya.

Di Indonesia cacat produk didefenisikan sebagai produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan konsumen .

Berdasarkan batasan diatas, dapat ditentukan bahwa pihak yang bertanggung jawab adalah pelaku usaha pembuat produk tersebut. Perkembangan ini didorong oleh tujuan perlindungan konsumen, yaitu menekan lebih rendah tingkat kecelakaan karena produk cacat tersebut dan menyediakan sarana hukum ganti rugi bagi korban produk cacat yang tidak dapat dihindari.

Suatu produk dapat disebut cacat atau tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, karena :

a. Cacat produk atau manufaktur, yaitu keadaan produk yang umumnya berada dibawah tingkat harapan konsumen. Produk cacat itu dapat membahayakan harta benda, kesehatan tubuh atau jiwa konsumen.
b. Cacat dalam kategori ini termasuk pula cacat desain, sebab apabila desain produk telah dipenuhi sebagaimana mestinya, tidaklah kejadian merugikan konsumen terjadi.
c. Cacat peringatan atau instruksi, yaitu cacat produk karena tidak dilengkapi dengan peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan tertentu. Produk yang tidak memuat peringatan atau instruksi tertentu sebagaimana dekemukakan diatas, termasuk produk cacat yang tanggung jawabnya secara tegas dibebankan pada produsen dari produk tersebut. Tetapi disamping produsen, dengan syarat-syarat tertentu, beban tanggung jawab itu dapat pula diletakkan pada pelaku usaha lainnya, sepertiimportir produk, distributor atau pedagang pengecernya.

Dengan demikian, tanggung jawab produk cacat ini berbeda dengan tanggung jawab pelaku usaha produk pada umumnya. Tanggung jawab produk cacat terletak pada tanggung jawab cacatnya produk berakibat pada orang, orang lain atau barang lain, sedang tanggung jawab pelaku usaha, karena perbuatan melawan hukum adalah tanggung jawab atas rusaknya atau tidak berfungsinya produk itu sendiri .

Tidak berbeda dengan Pengertian cacat dalam KUHPerdata diartikan sebagai cacat yang “sungguh-sungguh” bersifat sedemikian rupa yang menyebabkan barang itu “tidak dapat digunakan” dengan sempurna sesuai dengan keperluan yang semestinya dihayati oleh benda itu, atau cacat itu mengakibatkan “berkurangnya manfaat” benda tersebut dari tujuan yang semestinya .

Dengan demikian dapat disimpulkan produk disebut cacat bila produk itu tidak aman dalam penggunaannya, tidak memenuhi syarat-syarat keamanan tertentu sebagaimana yang diharapkan orang dengan mempertimbangkan berbagai keadaan, terutama tentang:

a. penampilan produk
b. kegunaan yang seharusnya diharapkan dari produk
c. saat produk tersebut diedarkan

Dalam konteks e-commerce, penampilan produk seringkali menipu konsumen. Apa yang ditampilkan dalam screen bisa jadi tidak sama dengan wujud fisik barang. Sedangkan untuk kegunaan produk sepatutnya dalam e-commerce konsumen dapat menilai dari deskripsi barang/jasa yang ditawarkan sehingga konsumen dapat membeli barang sesuai kegunaannya.

Dari pengertian ini maka ada satu tanggung jawab bagi produsen untuk mengutamakan kualitas barang yang diproduksi daripada mengejar kuantitas atau jumlah barang yang diproduksi. Hal inilah yang perlu ditafsirkan secara betul, manakala menghadapi persoalan sebagaimana diuraikan diatas.

Namun permasalahan yang mendasar atas semua uraian diatas adalah bagaimana jika pelaku usaha melepaskan diri dari tanggung jawab tersebut sementara jati diri pelaku usaha dalam transaksi cyberspace tidak dapat atau sulit untuk diketahui.

Disinilah pada akhirnya insting konsumen akan kepercayaan untuk membeli produk menjadi sangat dibutuhkan. Karena seperti saya sebutkan diatas tidak ada satupun lembaga yang menjamin bahwa pelaku usaha di cyberspace adalah pelaku usaha dalam arti yang sebenarnya. Jika terjadi demikian, kemana lagi kita akan mengadu?