Rabu, 20 November 2013

Sudut Lain Geneva

Rasa syukur saya, karena masih diberi kesempatan untuk yang kedua kalinya mengunjungi Kota Geneva Swiss. Kota termahal di Eropa dengan multi ras dibalut dengan hiruk pikuk para pekerja internasional menjadikan suasana yang sedikit berbeda dibanding kota-kota Eropa lainnya.

Tulisan kali ini tidak akan mengulas lagi cara hidup murah ala backpacker di Geneva (atau dalam bahasa Indonesia biasa kita sebut dengan Kota Jenewa) seperti tulisan saya sebelumnya. Saya akan menulis sudut pandang lain tentang kota ini.

Seberapa Ramah Geneva untuk Anda?
Dalam kunjungan saya ke Geneva kali ini, saya mengajak seorang teman yang kebetulan baru pertama kali berkunjung ke kota ini. Pertanyaan pertama yang ia lontarkan saat mendarat di bandara Kota Geneva adalah; seberapa aman kota Geneva untuk dikunjungi?Tidak banyak menjawab, saya langsung mengajak kawan saya untuk sekedar berkeliling di daerah Gare du Cornavin yaitu pusat transportasi Kota Geneva yang memadukan halte bus, stasiun tramp, dan stasiun kereta api. Betapa terkejutnya kawan saya, ketika mengetahui banyak pemuda (yang lebih tepat disebut preman) yang dengan cueknya mabuk di kawasan umum dan mengganggu para pengunggu bus di halte Cornavin. Beberapa diantaranya bahkan saling berkelahi satu sama lain.

Kondisi yang sama juga kami jumpai keesokan harinya. Terlihat beberapa 'preman' meminta uang dan rokok secara paksa kepada wisatawan atau pengguna bus di sekitar Gere du Cornavin.

Saya sampai lupa sudah berapa banyak orang yang memperingatkan saya perihal banyaknya modus kejahatan di Kota Geneva. Mulai dari tas kawan saya yang dicuri saat naik bus, pegawai perwakilan RI yang pernah di hipnotis di kawasan pusat perbelanjaan Manor, dan banyak peristiwa turis yang dompet, paspor, atau handphonenya di ambil sekawanan pencopet di sekitar Danau Lacman dan sekitar Gare du Cornavin.

Benar saja, hari pertama saya di Kota Geneva sudah mulai diusik oleh para penjahat kota. Seorang gadis cantik berbahasa perancis mencoba mengalihkan perhatian saya dengan mengajak saya berbicara dengan bahasa mereka. Tentu saya yang tidak berbahasa Perancis akan sedikit bingung. Pada kondisi bingung tersbeut, sang penjahat biasanya akan mengambil atau mencopet barang kita dengan cepat. Tapi untungnya, ditengah kebingungan saya memahami bahasa Perancis, saya masih diberi kesadaran untuk segera meninggalkan sang penjahat cantik yang sudah memandangi handphone di kantong kanan saya. Gagal buat mereka!

Tidak cukup sampai disitu, pada hari ketiga saya di Kota Geneva, saya dan teman-teman saya berkeliling mengunjungi kota Tua di dekat universitas Geneva. Pada saat berjalan kaki menuju Kota Tua, seorang lelaki dan perempuan muda beraksi dengan membuka resleting tas ransel kawan saya dari belakang. Modusnya adalah si perempuan membuka ransel, dan yang laki-laki menutupi pandangan saya yang kebetulan berdiri dibelakang kawan saya tersebut. Beruntung kawan saya menyadari ada yang berusaha membuka tas ranselnya dan akhirnya menarik tas yang sudah terbuka tersebut. Para penjahat langsung berbelok ke arah yang berlawanan dengan rute kami. Alamak!

Di hari keempat, penjahat kota semakin gila. Ketika saya dan kawan saya sedang menikmati secangkir kopi di Mc Donald rue de mont blanc, seorang perempuan muda kembali beraksi. Dengan membawa kertas brosur Mc Donald, dia langsung menghampiri kawan saya yang duduk didepan saya. Seketika brosur tersebut diletakkan di meja kami. Modusnya adalah brosur diletakkan menutupi handphone kawan saya, sambil bercerita panjang lebar dengan bahasa Perancis, sang penjahat cantik mengangkat brosur tersebut dari meja beserta handphone kawan saya. Kawan saya tidak menyadari karena masih bingung dan berusaha memahami bahasa sang penjahat. Hanphone yang sudah diambil tidak disadari sama sekali oleh kawan saya, namun beruntung saya masih melihat ketika brosur dan handphone diangkat dari meja. Seketika saya tahan tangan penjahat tersebut sambil menjatuhkan brosur yang diangkat tersebut, brosur yang terjatuh secara otomatis ikut menjatuhkan handphone yang telah berhasil diangkat oleh penjahat tesebut. Menyadari aksinya diketahui, sang penjahat pun dengan cuek dan tersenyum meninggalkan kami, di luar gerai Mc Donald, kawan sang penjahat sudah menanti  dan menertawakan kegagalan partnernya. Tidak ada penyesalan, tidak ada ketakutan di wajah mereka, tidak ada langkah terburu-buru saat mereka meninggalkan kami, tidak ada orang peduli dengan yang kami alami, semuanya cuek, dan menganggap hal wajar atau biasa terjadi.

Dari situ kami menyadari sisi individualitas masyarakat Geneva, tidak ada rasa kebersamaan, prilaku guyub, dan minimnya kepedulian terhadap orang lain. Mungkin dihati mereka, urusan penjahat kota adalah urusan polisi dan bukan tanggung jawab mereka sebagai warga kota yang baik. Kenyataan yang paling menyedihkan dari kota Geneva ini adalah korban kejahatan terbanyak adalah para Tourist maupun pengunjung dari kota atau negara lain. Ironis..!

Kota Tua Geneva
Saya lupakan sejenak kegaduhan para penjahat Kota Geneva, saya amati satu persatu sudut kota ini. Geneva, tidak seperti halnya Jakarta atau kota-kota besar lainnya di dunia, tidak memiliki gedung-gedung pencakar langit yang menjulang ke angkasa. Bangunan di Geneva didominasi bangunan semi modern yang dipadukan dengan bangunan-bangunan tua. Perkantoran organisasi-organisasi internasional pun tidak menampilkan kemegahan gedung-gedung tinggi. Corak sederhana, bahkan terlihat oldiest dengan gaya arsitektur yang terlihat kaku namun sangat efektif dan efisien.

Dalam kunjungan kali ini saya menginap di Hotel Cr**tal D****n di samping Starb**k kawasan Cornavin. Selama 4 hari di hotel tersebut saya dikenakan biaya sebesar 712 CHF (sudah termasuk pajak 3% per hari) untuk dua orang dalam satu kamar. Kamar tersebut saya booking langsung dari web site B**k**ng.com. Pertimbangan saya menggunakan web site tersebut sama seperti pertimbangan orang pada umumnya, yakni web tersebut tidak mengenakan charge jika kita membatalkan menginap di hotel yang kita booking tersebut sekurang-kurangnya 3 hari sebelum kita menginap.

Tarif hotel tersebut terbilang cukup murah, meskipun tidak semurah tarif tempat saya menginap pada kunjungan saya di Kota Genava. Sebetulnya jika kita datang ke Geneva dengan jumlah orang lebih dari 2 atau 3 orang, pilihan menginap yang murah bisa juga memilih tinggal di adegio aparthotel di sekitar Rue des Alpes. Selain murah (cukup 1000 CHF selama 4 hari), apartemen hotel tersebut bisa digunakan oleh lebih dari 3 orang. Dengan 2 kasur dan 2 sofa bed, apartemen hotel tersebut sangat layak untuk dihuni. Didalamnya sudah tersedia kitchen set beserta microwave nya dengan kamar mandi bath tub. Soal lokasi, apartemen hotel tersebut sangat strategis. Keluar dari lobi apartemen, tinggal hadap ke kiri kita bisa melihat langsung keindahan danau Lacman dan air mancur Jet D'Eau. Seberang apartemen hotel kira-kira 50 meter kita sudah sampai di Gare de Routierre yaitu terminal bus Kota Geneva yang menghubungkan Kota Geneva dengan kota-kota di sekitarnya (Bern, Interlaken, Zurich, dll), bahkan ke kota negara tetangga (Prague, Berlin, dll). Belum lagi se sepanjang jalan rue des alpes tersebut terdapat banyak penjual cinderamata khas Geneva. Jelas lokasi yang sangat bagus. Kelemahannya adalah butuh waktu sekitar 10-15 menit berjalan kaki dari stasiun kereta dan halte bus Gare du Cornavin.

Jika kita memutuskan untuk menggunakan jasa tour, kita juga bisa datang ke agen tour keytours di terminal tersebut. Paket tour yang ditawarkan beragam, dari mulai mengelilingi kebun anggur dan pabrik coklat di Gruyere, mengunjungi kastil di Chillon, Mountreoux, bahkan bermain ski di pegunungan Mont Blanc. Soal harga jelas mahal, untuk tour sekitar 6 jam di kawasan Gruyere, setidaknya kita harus membayar sekitar 118 CHF. Belum lagi jika kita hendak ke kawasan Mont Blanc yang merupakan wilayah negara Perancis, tentu tarifnya lebih mahal lagi (rata-rata lebih dari 200 CHF). Lebih lengkapnya Anda bisa baca sendiri di web site mereka di www.keytours.ch.

Satu hal yang cukup mengejutkan kami adalah, ketika kami mengunjungi Tourist Information Center di rue de Mont Blanc, petugas yang berjaga tidak bisa memberikan gambaran tentang biaya dan efektifitas transportasi yang diperlukan untuk rute wisata ke tempat-tempat yang kami tanyakan seperti Mount Titlis ataupun Jungfraujoch. Mereka mengaku hanya dapat memberikan gambaran tentang wisata di sekitar Kota Geneva. :)

Jika Anda penasaran tentang harga barang-barang di Kota Geneva, berikut saya tampilkan nama barang dan harganya, siapa tau bermanfaat:

1. Souvenir Magnet Kota Geneva -- harga 5-10 CHF
2. Aneka Gunting, Pisau, Perkakas Victorinox -- harga 16 - 40 CHF
3. Kaos Anak -- harga 18 - 22 CHF
4. Kaos Dewasa -- harga 24 - 32 CHF
5. Gantungan Kunci -- harga 4 - 10 CHF
6. Air mineral kecil 500 liter -- harga 2.5 - 6 CHF
7. Beras Asia 1 liter -- harga 6 - 12 CHF
8. Coklat batang ukuran sedang -- harga 6 - 12 CHF
9. Paket coklat kecil bungkus -- harga 8 - 15 CHF
10. Gelas souvenir Kota Geneva -- harga 6 - 15 CHF
11. Coklat dalam box alumunium -- harga 14 - 20 CHF
12. Paket Mc Donald Burger, kentang dan Minum per paket -- harga 22 CHF
13. Kebab Gallete Istanbul tanpa minuman per porsi -- harga 12 CHF
14. Nasi Briyani dengan Daging kambing/Ayam per porsi -- harga 18 CHF
15. Kopi Starcbuck per gelas -- harga 3.5 - 10 CHF
16. Roti Croissann 1 buah -- harga 3 - 7 CHF
17. Topi laki-laki -- harga 15 - 25 CHF
18. Jam tangan laki-laki -- rata-rata harga 120 - 400 CHF
19. Jam tangan perempuan -- rata-rata harga 110 - 400 CHF

Kesimpulan saya pada kunjungan kali ini adalah Kota Geneva bukan merupakan kota yang patut direkomendasikan untuk kunjungan wisatawan. Selain sangat mahal, kota ini kurang aman dan nyaman bagi pengunjung yang bertujuan sekedar berwisata. Pilihan lokasi wisata di kota ini sangat terbatas, hanya danau Lacman, air mancur Jet D'Eau, museum, gedung-gedung PBB, dan bangunan kota tua yang terbilang layak untuk diabadikan dan disimpan dalam kamera Anda. Selebihnya hanyalah serupa dengan kota-kota Eropa pada umumnya.

















Kamis, 13 Oktober 2011

Catatan Ringan di Geneva


Coklat Jago vs Coklat Goldkenn
Masih teringat di kenangan masa kecil saya, saat saya masih berseragam warna bendera menatap termenung bungkusan coklat merk Jago yang baru saja saya terima dari kawan ibu saya sepulang saya mengaji di mushola. Betapa senangnya saat itu. Serasa mendapatkan hadiah istimewa! Coklat dengan bungkus merah putih bergambar ayam jago dalam lingkaran merah, memberi kesan sangat berarti buat saya di masa itu. Coklat tersebut menjadi bekal untuk saya berangkat ke sekolah esok harinya. Dan pada saat waktu istirahat sekolah, saya makan coklat itu dengan penuh kebanggaan. (Dasar anak kampung!) :)

Kini, setelah puluhan tahun berlalu tiba-tiba saya teringat kembali kenangan itu. Ingatan itu muncul kembali disaat yang sama, saat mata saya terfokus mengamati sebatang coklat. Tapi bedanya coklat yang saya tatap kali ini bukan coklat bermerk Jago, melainkan coklat dengan merk Goldkenn. Beda lainnya adalah saya bersyukur tidak hanya bisa melihatnya, tapi juga membelinya. Dan istimewanya buat saya adalah saya beruntung bisa membelinya di tempat yang jauh dari kampung halaman saya. Ya, di Geneva, Swistzerland!

Tanpa berpikir panjang, akan saya bawakan coklat Goldkenn ini untuk putri tersayang saya. Semoga kelak dia jauh lebih beruntung lagi dari saya. Amin. :)

Sambil mengunyah coklat Goldkenn yang legit khas coklat-coklat eropa, saya menuliskan sedikit pengalaman saya di kota Geneva. Berikut lebih lengkapnya.


Geneva, Suisse

Kesempatan kembali saya terima untuk mengunjungi kota Geneva. salah satu kota termahal di dunia. Bahkan menurut saya rata-rata harga barang di Geneva lebih mahal daripada saat saya di Paris. Kesamaannya adalah dalam hal transportasi publik. Sangat mudah dan cepat!

Karena perjalanan kali ini adalah perjalanan dinas, saya tidak memerlukan visa schengen (eropa) untuk masuk ke Swiss. Berbeda dengan negara eropa lainnya yang tetap mengharuskan visa schengen untuk masuk ke negara mereka. Jadi perjalanan kali ini tidak perlu disibukkan dengan pengurusan visa.

Dari bandara menggunakan bus umum dengan rute yang sangat mudah di peta saya menuju hotel tempat saya menginap. Auberge du grand saconnex, hotel tempat saya menginap. Tidak mirip sebuah hotel. Justru yang tampak di depan bangunan adalah sebuah restoran tua disudut jalan. Hotel ini saya pilih atas rekomendasi beberapa teman yang pernah menginap di hotel ini. Konsep hotel ini adalah chamres libres alias free room. Semacam sewa apartemen/kamar model studio. Ada dapur kecil di sudut kamar, kamar mandi kecil, kipas angin, televisi LCD, dan berlantaikan kayu. Tidak ada resepsionis, pelayan hotel, maupun security. Semua self service kecuali pembersihan kamar sehari sekali. Soal harga, jelas sangat murah. Hanya 132 CHF per malam (atau sekitar 1, 2 juta rupiah) untuk 2 (dua) orang. Harga tersebut tentu harga diskon dari yang seharusnya 185 CHF. Syaratnya, hanya dengan menyebut tujuan kita di Geneva untuk menghadiri event internasional, hotel tersebut tanpa ragu langsung memberikan diskon khusus. Bandingkan dengan hotel-hotel lain di sini. Rata-rata hotel bintang dua per malamnya adalah diatas 200 CHF.

Tips penting untuk siapapun yang hendak berkunjung di Geneva pertama kali;

  1. Pastikan ambil peta transportasi di Airport pada saat anda mendarat atau searching terlebih dahulu rute-rute yang akan anda kunjungi di kota Geneva sebelum anda berangkat;
  2. Siapkan makanan yang sesuai dengan selera anda karena tidak semua makanan di Geneva sesuai dengan selera orang Indonesia dan yang pasti sangat mahal!;
  3. Pastikan bawa mata uang suisse (CHF) karena tidak mudah menemukan penukaran mata uang di banyak tempat;
  4. Selalu waspada dan jaga diri karena tidak semua orang di Swiss berkarakter baik (pengalaman sahabat saya yang pernah kecopten tas di dalam bis di kota Geneva);

Geneva saya gambarkan seperti perpaduan antara kota Bogor, Bandung, dan Bukit Tinggi. Kebetulan saat itu sedang musim semi. Udara sejuk terasa di setiap persimpangan jalanan kota, dengan jalanan yang bersih, warga yang ramah, dan suasana yang tenang, Geneva menyajikan suasana khas kota kecil eropa. Sengaja saya memilih daerah le grand saconnex karena daerah ini sangat tenang, tidak bising kendaraan, dan kurang dari 5 menit menuju bandara, serta tidak lebih dari 15 menit ke pusat kota Geneva.

Tahukah anda jika Geneva bukan ibu kota Swiss?Ibukota Swiss adalah Bern! :)

Apa ciri khas kota Geneva?
Danau Lacman yang terletak di pinggir kota dnegan air mancur setinggi kira-kira 60 meter menjadi "Monas" nya kota Geneva. Pinggiran danau dibuat jalan kecil yang melingkari seluruh danau dan bertepi di Mont Blanc, sebuah port yang didominasi kapal-kapal kecil yang bersandar di tepian danau. Di depan danau menuju port terdapat taman dengan pohon-pohon yang rindang dihiasi kursi taman gaya eropa yang hampir semuanya penuh diisi oleh para manula dan pelancong yang mengistirahatkan sejenak kakinya setelah memutari danau. Suasana khas eropa!

Ciri khas lain kota Geneva adalah banyaknya gedung-gedung organisasi internasional seperti gedung markas PBB, UNCITRAL, WHO, ILO, UNHCR, markas palang merah internasional, organisasi telekomunikasi internasional (ITU), dan masih banyak lagi. Ciri lainnya adalah gedung-gedung tua khas peninggalan eropa pada masa lalu. Tidak perlu saya sebutkan karena sangat banyak sekali yang membuat saya terkesan (duh, betapa kampungnya saya). :)
Salah satu sudut Kota Geneva dalam jepretan kamera saya
Transportasi
Di kota Geneva, transportasi publik sangat nyaman. Kita bisa menggunakan pilihan bus, tramp (sejenis kereta yang beroperasi di jalan raya dengan rel tersendiri), atau kereta jika jaraknya cukup jauh. Jika anda menginap di hotel, biasanya hotel akan memberikan kartu bebas transportasi di Geneva selama kita menginap. Dengan kartu itu kita bisa menggunakan sarana transportasi publik secara gratis di kota Geneva.

Kawan saya yang tidak mendapat kartu transportasi publik Geneva karena menginap di Wisma milik kedutaan RI harus menghabiskan lebih dari 30 CHF per hari untuk membeli tiket bus atau tramp. Jelas sangat mahal.

Kartu transportasi tersebut hanya berlaku di dalam kota Geneva. Sedangkan jika kita hendak mengunjungi kota-kota lain di Swiss seperti Zurich, Bern, Olten, atau Aarau, kita harus membeli secara terpisah tiket menuju kota-kota tersebut.

Sedikit saya cerita pengalaman saya ke Zurich, Bern, dan beberapa kota lain di Swiss menggunakan kereta. Untuk membeli tiket kereta, kita bisa datang langsung ke stasiun. Untuk tarifnya bisa sangat mahal dan bisa juga tidak terlalu mahal tergantung paket transportasi yang kita gunakan. Kita bisa membeli paket transportasi untuk 1 hari perjalanan bebas seharga kira-kira 90-an CHF dihari-hari tertentu atau bisa juga paket 3 hari perjalanan bebas seharga 216 CHF. Namun, jika kita hanya membeli tiket pulang pergi, tarif yang dikenakan adalah sebesar 164 CHF. Kita bisa tentukan sendiri paket mana yang kita gunakan.

Tips terpenting sebelum kita menggunakan kereta antar kota di Swiss adalah kita harus pelajari rute yang akan kita tuju. kita bisa cek jadwal kereta melalui web site cff.ch (sayangnya web site ini berbahasa perancis). Alternatif lain kita bisa datang ke stasiun dan melihat jadwal keberangkatan kereta tiap jamnya. Sebelum memutuskan menggunakan kereta, kita harus tentukan dulu stasiun-stasiun yang menjadi kunci perpindahan tiap kereta di Swiss. Ternyata, tidak sulit jika kita mencoba dan mau membaca kawan!
Stasiun Sconenwerd, kampung tempat sepatu Bally diproduksi 


Makanan
Makanan adalah soal selera. tidak heran ada pernyataan yang menyebutkan "hanya orang bodoh yang mempermasalahkan selera makanan..". Setuju! Sebagian makanan di kota Geneva tidak jauh berbeda dengan makanan di negara eropa lainnya. Didominasi oleh roti, salad, ikan, dan keju menjadi ciri khas makanan di sini. Saya bukan penggemar makanan eropa. Meskpiun beberapa diantaranya masih bisa saya makan. Mungkin karena lidah saya masih lidah kampung membuat saya sulit untuk menerima kenyataan bahwa makan roti itu bisa menggantikan makan nasi. Alhasil tetap tersugesti lapar meskipun sudah makan sepotong roti keju dan segelas susu segar.

Untungnya dari Indonesia, perbekalan makanan sudah saya siapkan. Tidak tanggung-tanggung, sekilo beras, sebungkus rendang, ikan asin, bandrek, sambal teri, dan yang pasti mie instan indom** saya bawa. Tak lupa kompor listrik, piring, dan sendok saya bawa. Berat memang, tapi sebanding dengan kenikmatan yang saya dapatkan selama 15 (lima belas) hari di kota Geneva. Jika makan di cafetaria atau rumah makan di kota Geneva, minimal saya harus mengeluarkan 22 CHF sekali makan atau 200 ribu rupiah. Dengan modal 200 ribu tersebut saya bisa membeli seluruh bahan dari 'perbekalan' yang saya bawa. Bayangkan berapa yang saya hemat? (sambil tersenyum menarik bibir ke atas). :D

Untuk membeli bahan makanan, kita cukup datang ke swalayan Migros bisa menggunakan bus yang terletak di Baulacre, 2 pemberhentian bus setelah pemberhentian Nations menuju Gare Cornavin. Atau ada juga yang terletak di ujung jalan rue de confederation seberang danau Lacman. Apa yang kita cari untuk masak cukup lengkap, mulai dari beras, minyak, gula, garam, telur, bahkan sayuran. Soal harga jelas lebih murah daripada swalayan Manor dipusat kota dekat stasiun. Jika malas memasak,nasi goreng instan cita rasa asia juga tersedia di Migros. Cukup panaskan ulang dengan microwave yang tersedia di swalayan tersebut, lalu nikmati saja hingga habis tak bersisa. Soal rasa? "No comment". :P 

Karena perbekalan saya sudah cukup banyak, perbekalan tambahan yang harus saya beli di Geneva hanya sabun cuci piring, kanvas untuk cuci piring, dan beberapa macam sayuran serta buah segar. Total semuanya tidak lebih dari 30 CHF selama saya di geneva. Catatan penting; harga anggur di sini sangat murah, anggur red globe seharga kurang dari 2 CHF per kilonya atau hanya skitar 15 ribu rupiah perikat. Bandingkan dengan harga di Indonesia yang mencapai 55 ribu rupiah sampai 65 ribu rupiah per ikat!

Belanja
Belanja menjadi menu wajib bagi pelancong. Apalagi bagi yang baru pertama kali mengunjungi kota Geneva. Tapi sayangnya saya bukan peminat belanja. Tapi bukan berarti saya tidak tahu dimana tempat belanja murah di Geneva.

S.A.F.I, nama sebuah 'koperasi' milik markas besar PBB di seberang halte Nations menjadi pilihan utama belanja murah. Harga yang ada banyak yang diskon. Barang-barang yang dijual juga sangat lengkap. Mulai dari parfum-parfum khas eropa, jam tangan swiss made, souvenir, kaos, makanan, dan masih banyak lagi. Tidak diragukan lagi S.A.F.I menjadi salah satu tempat termurah untuk belanja oleh-oleh. Untuk masuk ke markas PBB saya sarankan sebaiknya jangan membawa tas, karena jika kedapatan membawa tas maka pengunjung harus melalui pintu utama untuk pemeriksaan tas yang letaknya cukup jauh dari jalan protokol. Cukup bawa dompet dan keperluan lain yang mudah dibawa tanpa tas.

Tempat lainnya adalah di wilayah sekitar Gare Cornavin. Untk belanja disini, kita harus tahu betul mana toko yang murah dan mana toko yang mahal. Sebagian besar toko disini adalah toko yang berharga mahal. Hanya ada beberapa toko yang sedikit lebih murah. Itupun hanya berjualan souvenir khas Swiss seperti pertokoan kaki lima di sepanjang danau Lacman.
Kaki lima di sepanjang danau Lacman

Tempat lain untuk belanja adalah kawasan rue de confederation. Sepanjang jalan tersebut berdiri bermacam-macam toko yang menjual beraneka macam tas, jam tangan, elektronik, baju, dan lain-lain. Soal harga?relatif. Jika beruntung kita bisa dapatkan harga discount, meskipun pada umumnya jarang ada discount di pertokoan jalan ini.

Mau barang berkelas dengan merk-merk ternama?datang saja ke rue de rhone. Kawasan pertokoan dengan barang-barang branded dunia. Mulai dari jam tangan segala macam merk terkenal, tas, sepatu, dan fashion. Cukup lengkap!Soal harga?jelas sangat mahal. Bagi yang tidak memiliki banyak budget mencukupi seperti saya, cukup melihat etalase toko sambil membayangkan diri mengenakan setelan jas Prada, memakai jam tangan Rolex dengan bersepatukan Bally dan membawa tas handbag Longchamp?  :)
Salah seorang pengemis di kawasan elit Rue De Confederation


Lalu apa oleh-oleh yang saya pilih?
Selain oleh-oleh wajib menurut saya seperti coklat dan souvenir kecil (gantungan kunci, magnet kulkas, hiasan dinding, kaos, dll), saya memutuskan untuk membeli pisau berbahan keramik. Bukan logam seperti pisau pada umumnya di Indonesia. Harganya relatif terjangkau, tidak lebih dari 10 CHF per buah. Selain pisau keramik, pisau yang saya beli adalah pisau merk Victor**ox. Kualitas pisau tersebut sangat bagus. Logam dan ketajamannya sangat mengesankan saya. Harga juga tidak terlalu mahal. Berkisar 30-70 CHF untuk pisau ukuran sedang. Lumayan untuk oleh-oleh ibu-ibu arisan tetangga di sebelah-sebelah rumah. Dijamin tahan puluhan tahun. :)

Selain coklat, souvenir, dan pisau, pilihan yang paling memenuhi budget adalah membeli tas bermerk dengan catatan; wajib discount! Dengan sedikit berputar-putar selama beberapa hari, akhirnya ditemukan juga toko yang menjual tas bermerk dengan discount istimewa. Bukan di sekitar pusat kota, melainkan di Airport Geneva.

Sekedar catatan, toko-toko pada hari minggu di kota Geneva sebagian besar tutup. Pilihan warga Geneva untuk belanja di hari minggu adalah belanja di Airport karena tidak pernah tutup setiap harinya. Harganya pun tidak semahal yang dibayangkan. Bahkan banyak juga item yang lebih murah jika kita belanja di Airport dibanding kita belanja di pusat Kota Geneva. Monggo mampir!


Jam Tangan
Mitos Jika beranggapan bahwa jam tangan di Swiss lebih murah daripada di negara lain. Salah besar! Harga jam di Geneva sangat bervariasi. Biasanya harga termurah berada di kisaran rata-rata 150 CHF atau sekitar 1, 3 jutaan rupiah. Sementara harga rata-rata jam yang menurut saya bagus adalah diatas 300 CHF atau sekitar 2, 8 juta rupiah. Dan bagi yang berkantong tebal, pilihan paling cocok adalah jam-jam yang sangat futuristik seharga lebih dari 1000 CHF atau diatas 10 juta rupiah. Wow!

Tapi kawan saya dari Indonesia termasuk beruntung, dengan usaha keras mengitari kawasan pertokoan, kawan saya bisa mendapatkan jam tangan merk yang cukup dikenal di indonesia dengan separuh harga, kurang dari 100 CHF. Tentu toko yang dipilih adalah toko kecil di antara toko-toko jam besar yang menawarkan potongan harga.

Di pusat kota Geneva (Gare Cornavin) terdapat ratusan bahkan mungkin lebih dari 1000 toko jam dengan berbagai merk terkenal di dunia. Hampir semua merk jam terkenal ada disini. Tidak heran, jam tangan menjadi ciri khas oleh-oleh dari Swiss. Meskipun harganya tidaklah murah. Masih tertarik belanja?

Tarif Komunikasi
Untuk berkomunikasi dengan sanak famili di Indonesia, saya menggunakan pilihan skype. telepon berbasis internet tersebut saya menilai jauh sangat murah dibanding tetap menggunakan telepon operator Indonesia di Geneva. Jika telepon menggunakan operator telekomunikasi di Indonesia tarif yang dikenakan adalah sebesar Rp40 ribu rupiah per menit. Demikian halnya jika kita menerima telepon, tarifnya Rp40 ribu rupiah per menit. Dengan menggunakan skype, saya hanya membayar 0,12 Euro per menit untuk menelpon ke operator GSM di Indonesia, 0,07 Euro per menit untuk menelpon ke telepon rumah di Indonesia, dan 0,11 Euro untuk tarif 1 kali sms yang saya kirim ke nomer GSM di Indonesia. Jelas sangat murah!

Tapi ada alternatif lain, kita bisa menggunakan telepon dari operator lokal di Swiss yaitu; Lebara. Kawan saya yang menggunakan operator tersebut mengatakan untuk menelpon beberapa menit ke Indonesia, biaya yang dibayar tidak lebih dari Rp10 ribu rupiah jika di kurs kan ke dalam rupiah. Meskipun, jelas lebih murah skype menurut hitungan saya. Apalagi jika keluarga atau sahabat kita sama-sama menggunakan skype. Telepon bisa gratis!

Warga dan Bahasa
Jika saya perhatikan baik-baik, kebanyakan warga Geneva adalah pendatang. Geneva kota yang multiras dan multikultur. Ada 'bule', kulit hitam, warga china, warga jepang, pendatang dari daerah latin semuanya berkumpul menjadi satu di keramaian kota. Tidak ada diskriminasi ras dan agama. Jika kita amati benar-benar, maka jangan heran warga Asia terbanyak di Geneva adalah warga Jepang. Banyak perempuan berjilbab di sepanjang jalan saya lewati di Kota Geneva. Meskipun selama saya di Geneva belum pernah menemukan masjid. Tapi sifat terbuka warga Geneva menjadi pandangan positif buat saya.

Untuk bahasa, warga Geneva kebanyakan menggunakan bahasa Perancis sebagai basic bahasa percakapan sehari-hari, Namun untuk kaum berpendidikan dan layanan publik, banyak juga yang bisa berbahasa inggris. Jadi tidak perlu khawatir jika kita hanya menguasai bahasa inggris, bahkan jika bahasa inggris kita pasif sekalipun. Minimal kita tahu hitungan angka dalam bahasa inggris, maka kita bisa berkunjung ke Geneva! :)

Bahasa inggris saya pun sebenarnya sangat biasa saja. Saya menyebutnya Jungle English. Tak disangka dengan bahasa inggris seperti itu, saya bisa berkomunikasi lancar dengan warga Geneva, bahkan dengan teman apartemen saya yang berkebangsaan Amerika saya bisa asyik bercanda bermodalkan jungle english saya (meskipun tidak jarang sambil membuka kamus di handphone Android saya). Namanya juga belajar! :)


Ini saja dulu yang bisa saya tulis kawan. Saya pasti update jika ada sesuatu yang penting dan lupa saya informasikan. Saya bukan penulis aktif, apalagi penulis bidang traveling. Tulisan ini saya buat karena minimnya referensi hidup dan perjalanan di kota Geneva. Dan jika ada kesempatan, saya akan tuliskan pengalaman saya mengunjungi beberapa negara lain. Semoga tulisan ini memberi manfaat untuk siapapun pembacanya!

Baca catatan saya berikutnya di: Sudut Lain Geneva

Teguh Arifiyadi

Selasa, 05 Oktober 2010

'Bad News id a Good News'

Prolog

"Bad News is a Good News…"

Saya bukan seorang pengamat media, bukan juga seorang ahli untuk berbicara tentang demokrasi, tapi tidak ada salahnya saya menulis tentang ulah beberapa insan pers belakangan ini yang semakin tidak profesional. Setidaknya saya pernah 3 tahun menjadi wartawan (meskipun hanya dalam lingkup terkecil yakni wartawan kampus), untuk bisa memberikan pandangan subyektif saya tentang maraknya "jurnalisme jalanan" di Indonesia saat ini.

Disebuah website olahraga saya pernah membaca komentar seorang pembaca berita yang tertulis "...ckckck kebebasan pers itu sendiri telah mengalahkan hak asasi manusia..". Komentar itu ditulis oleh seorang pembaca berita mananggapi tulsian seorang wartawan yang mengomentari sikap tidak profesional Boaz Salossa yang "tidak berkenan" menjawab pertanyaan wartawan dan hanya memberikan senyum. Lebih jauh lagi sang wartawan mengutip pernyataan teman wartawan lainnya yang mengatakan bahwa sikap Boaz tersebut dianggap "Ndeso" dan menambahkan berita keengganannya sang pemain untuk membela Timnas karena mengikuti laga antar kampung (tarkam) tanpa sumber berita yang jelas.

Luar biasa, cara wartawan tersebut melontarkan kemarahannya dalam tulisan yang dibaca publik se-indonesia. Sakit hati rasanya kalau kita adalah sang pemain tersebut atau keluarga dari sang pemain tersebut. Namun jika sang pemain merasa keberatan dengan berita yang dianggap fitnah dan mencemarkan nama baik tersebut, sudah pasti pers akan mengatakan bahwa sang pemain punya "HAK JAWAB" tehingga tidak perlu melalui proses hukum. Ujung kasusnya sudah bisa diketahui bahwa pers akan meralat dan meminta maaf. Dan case close!!

Contoh kejadian diatas tentu bukan kejadian pertama dalam dunia media. sikap tidak profesional wartawan seringkali membuat banyak pihak merasa "geregetan". Berita yang tidak berimbang, berita yang tidak jelas, berita yang bermuatan fitnah, berita yang bermuatan "cabul", berita yang menyudutkan, berita yang melanggar privasi, dan masih segudang lagi sifat buruk oknum media yang sering kita baca dan kita lihat diberbagai media baik elektronik maupun cetak.

Penetrasi Akses Pornografi akibat Pemberitaan
Tidak perlu ahli psikologi sosial untuk membuktikan bahwa efek berita pelecehan seksual maupun berita yang bertendensi 'porno' memberi pengaruh terhadap terjadinya kejahatan seksual/pornografi berikutnya. Rating masyarakat terhadap berita pencabulan atau pemerkosaan misalnya, dipastikan sangat tinggi melebihi rating berita tentang hasil penelitian. Tentu! karena secara alamiah, manusia tertarik untuk mengakses atau mengetahui apa yang menjadi hasyrat penasaran dalam pikirannya.

Masalahnya saat ini adalah bukan pada prilaku pikiran masyarakat yang membaca berita tersebut, melainkan bagaimana media 'menjual' berita tersebut dengan judul bombatis, maupun konten hiperbola, atau bahkan menyudutkan korban. Contoh kongkret; satu peristiwa pelecehan seksual dalam sebuah berita online maupun offline [cetak] bisa di ulas lebih dari 5 kali tergantung ragam kasus tersebut. Lumrah secara 'ilmu jurnalistik', tapi tidak lumrah dari aspek sosial kemasyarakatan. Apakah media atau oknum media memahami perasaan korban dan keluarga korban dengan eksploitasi pemberitaan tersebut?bagaimana jika korban tersebut adalah keluarga, teman, atau saudara pewarta media tersebut?

Media dan Politik; Perkawinan terlarang!
Mengejutkan [atau pura-pura terkejut] membaca hasil riset Merlyna Lim pada tahun 2012 yang memetakan kepemilikan media di Indonesia. Tanpa perlu menampilkan hasil detail riset, setiap pembaca hasil riset akan menyimpulkan bahwa kekuatan politik telah masuk sampai ke dalam sendi-sendi mediacentris di Indonesia. Apa pengaruhnya bagi kualitas produk jurnalistik di Indonesia?Bisa ditebak, angin pemberitaan sangat tergantung angin politik yang berhembus. Tidak ada lagi kemegahan idealisme jurnalistik yang diagung-agungkan para leluhur jurnalis. Yang tersisa adalah perang media dengan korban terbesar adalah masyarakat Indonesia. Tanpa bermaksud merendahkan kualitas pendidikan di Indonesia, minimnya pengetahuan masyarakat tentang kualitas sebuah berita membuat masyarakat sangat mudah terpengaruh. Saat ini, opini masyarakat adalah opini media. Jika situsi seperti ini terus terjadi tanpa ada campur tangan otoritas berwenang [pemerintah dan/atau KPI], bukan tidak mungkin Indonesia memasuki jaman jahiliyah informasi. Solusinya harus kejam, pemilik partai/kelompok politik tertentu atau afiliasinya dilarang atau dibatasi memiliki media!

Sah-sah saja membangun kekuatan politik dengan mempengaruhi konten media, namun ada batas-batas etika kejujuran yang harus selalu disampaikan kepada masyarakat. Itulah benteng terakhir kekuatan sebuah media!



Rabu, 26 Agustus 2009

Tentang Seni Korupsi Ala PNS; Dilema Tunjangan Hari Raya Pegawai Negeri Sipil


Jika seorang PNS ditanya apakah tujuan menjadi seorang PNS adalah untuk berbuat korupsi, tentu sebagian besar mereka akan menjawab tidak pernah terpikirkan niat sedikitpun untuk korupsi. Kemudian jika ditanya, apakah mereka menerima tunjangan hari raya, mereka menjawab: "ya kami semua menerima...". Kemudian ketika ditanya lagi: "darimana sumber uang THR itu diberikan?" maka mereka akan menjawab dari uang negara atau dari atasan atau dari sumber lainnya yang tidak diketahui.

Tahukah anda jika pasal 13 keppres 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN melarang penggunaan anggaran negara untuk pengeluaran dalam rangka perayaan hari raya. Dengan kata lain, kemungkinan terbesar pemberian tunjangan hari raya diberikan bukan bersumber dari dana resmi APBN. Bisa jadi jika atasan seorang yang sangat baik hati, uang THR bersumber dari kantong pribadi atasan. Tapi bukan rahasia jika sebagian besar uang THR yang diterima PNS bersumber dari dana non-budgeter yang jelas diluar yang diatur dalam Keppres 42 Tahun 2002. Dan mungkin jika mau diruntut, sumber dana non-budgeter bisa merupakan hasil perbuatan korupsi (baca: seni korupsi ala PNS; Dana Non-Budgeter).

Tunjangan Hari Raya atau biasa disebut THR pada dasarnya merupakan hak legal pegawai yang harus diberikan perusahaan kepada pegawai sesuai dengan peraturan menteri tenaga kerja NO.PER-04/MEN/1994 Tentang THR Keagamaan bagi pekerja di perusahaan.

Sayangnya aturan tentang THR ini sepengetahuan penulis belum pernah diatur secara resmi wajib diberikan kepada pegawai negeri sipil seperti halnya pemberian gaji ke-13 PNS.

THR bagi sebagian masyarakat Indonesia dianggap bukan sekedar tunjangan biasa, tapi lebih merupakan budaya tahunan menyambut hari raya. Justru akan sangat ganjil di masyarakat jika seorang pegawai tidak menerima THR pada saat menjelang hari raya.

Praktik itulah yang kemudian berkembang di kebanyakan instansi pemerintah. Suka atau tidak suka, seorang atasan akan mengupayakan segala cara guna memenuhi kebutuhan akan THR bagi pegawainya entah dengan cara ilegal, cara yang dianggap legal, atau cara lainnya.

Dilema memang jika terus di ulas lebih dalam. Jika ditanya siapa yang salah, mungkin bukan semata-mata salah PNS yang menerima, bukan juga semata-mata salah atasan yang memberi. Tapi bisa jadi budaya birokrasi kita yang harus diubah. Selain sistem keuangan juga yang harus memihak kepada pemenuhan kesejahteraan atau setidaknya kecukupan kebutuhan pegawai negeri sipil.

Teguh Arifiyadi, SH

Senin, 24 Agustus 2009

Tentang Seni Korupsi Ala PNS; Pemalsuan Dokumen Perjalanan Dinas

Sejak diterbitkan peraturan baru yang diterbitkan menteri keuangan tentang perjalanan dinas pegawai negeri sipil, pegawai diwajibkan menyampaikan seluruh pertanggungjawaban perjalanan dinas dengan dana yang bersumber dari APBN/APBD atas dasar at cost atau segala pengeluaran didasarkan atas jumlah pengeluaran yang sesungguhnya (riil cost). Konsep ini sebetulnya dibuat untuk meminimalisir penyimpangan dalam pengeluaran perjalanan dinas. Dengan melampirkan bukti-bukti perjalanan dinas seperti tiket pesawat, bill hotel menginap, bukti fisik pembayaran airport tax dan boardingpass dan lain-lain, harapannya adalah tidak ada lagi perjalanan dinas fiktif pegawai. Konsekuensi dari peraturan ini adalah dengan dinaikannya uang harian perjalanan dinas bagi seseorang yang melakukan perjalanan dinas dengan dana APBN/APBD.

Segera setelah diterbitkannya SPPD, seorang yang ditunjuk untuk melakukan perjalanan dinas menjalankan kewajibannya sesuai dengan waktu yang ditentukan. Surat perintah perjalanan dinas (SPPD) adalah surat perintah yang dikeluarkan oleh pimpinan instansi pemerintah kepada pegawai negeri sipil (PNS) dalam rangka melaksanakan tugas tertentu di lingkungan satuan kerja (satker) di luar instansi PNS tersebut.

Sejak proses inilah model generasi baru modus penyimpangan perjalanan dinas dilakukan. Dengan dalih pengumpulan dana non-budgeter, pejabat atau institusi pemberi tugas tida segan-segan memunculkan nama pegawai dalam surat tugas, yang dalam realisasinya pegawai tersebut tidak melakukan perjalanan dinas. Semua pertanggungjawaban perjalanan dinas terkait at cost spenuhnya diurus oleh anggota lain yang bertugas ataupun oleh institusi bersangkutan. Singkatnya, nama pegawai yang namanya tercantum namun tidak malakukan perjalanan dinas hanya tinggal membubuhkan tanda tangan pertanggungjawaban keuangan.

Lalu bagaimana pertanggungjawaban keuangan dibuat?bagaimana dengan tiket pesawat (jika menggunakan pesawat) dipertanggungjawabkan?bagaimana juga dengan bukti fisik pembayaran airport tax, boardingpass, bill hotel yang harus dilampirkan?bagaimana dengan tanda lapor di daerah diberikan?

Oknum pegawai, pejabat, dan pihak berkepentingan tidak pernah kehabisan akal untuk menciptakan kreasi baru dalam rangka mendapatkan keuntungan secara ilegal dari perjalanan dinas. Dorongan atas kebutuhan pribadi, kebutuhan organisasi, dan terbawa arus sistem yang ada, tampaknya memberi pilihan yang lebih kuat bagi seseorang untuk melakukan segala cara. Tidak sampai 1 tahun sejak aturan perjalanan dinas metode at cost diterapkan, kegagalan sistem ini sudah terlihat.

Bukan rahasia lagi jika pertanggungjawaban keuangan dapat dengan mudah dipalsukan. Tiket pesawat, airport tax, boardingpass, bill hotel dapat dengan mudah dipesan melalui agen travel dengan harga yang sangat murah. Atau jika sedikit kreatif, siapapun dapat membuat tiruan tiket pesawat, bill hotel, atau dokumen lainnya. Harga tiket pesawat dan tarif hotel pun bisa dibuat dengan jumlah sesuai keinginan pemesan. Sungguh praktik penyimpangan ini sangat mudah, murah, dan praktis.

Lalu seberapa takut aksi tersebut akan diketahui oleh institusi pengawas (Inspektorat, BPKP, atau BPK)?

Institusi pengawasan dalam melakukan pemeriksaan perjalanan dinas akan melihat beberapa aspek:

1. Pemeriksaan tentang efektifitas, efisiensi, dan ekonomis atas perjalanan dinas yang dilakukan, selain aspek kebutuhan atas perjalanan dinas tersebut.
2. Pemeriksaan benar tidaknya pegawai bersangkutan bertugas pada watu yang ditentukan dalam surat tugas. Pemeriksaan dilakukan dengan mencocokan daftar hadir, surat tugas lainnya, ataupun konfirmasi kepada yang bersangkutan.
3. Pemeriksaan hasil laporan tugas perjalanan dinas pegawai bersangkutan
4. Pemeriksaan dokumen pertanggungjawaban keuangan ysng meliputi:
- kesesuaian uang harian dan tarif hotel yang diterima pegawai sesuai dengan standar biaya umum yang ditetapkan Depkeu
- kelengkapan bukti pendukung perjalanan dinas antara lain; tanda lapor, tiket pesawat, boardingpass, bill hotel.

Pada aspek ke-4, pemeriksa akan memastikan lampiran pendukung perjalanan dinas lengkap. Sedangkan aspek keaslian lampiran pendukung biasanya sukar diketahui, karena sebagian besar dapat dikatakan persis dengan aselinya. Pemeriksa akan sangat sulit membedakan antara tiket pesawat aseli dan aspal (aseli tapi palsu). Sementara untuk bukti pembayaran hotel (bill hotel) dapat dengan mudah dimintakan pegawai bersangkutan di hotel tempat menginap dengan mencantumkan berapapun jumlah orang, dan tarif sesuai keinginan. Selain itu, dokumen tanda lapor yang ditandatangani pejabat di daerah yang dikunjungi, dapat dengan mudah diberikan oleh pejabat yang bersangkutan tanpa harus melihat berapa banyak pegawai yang melakukan perjalanan dinas berdasarkan surat tugas.

Sebetulnya pemeriksa dapat melakukan cek terhadap daftar manifest pesawat (daftar penumpang pesawat) pada perusahaan penerbanangan yang digunakan pegawai bersangkutan pada saat melakukan perjalanan dinas. Namun tampaknya tidak mudah untuk mendapatkan daftar manifest pesawat terebut. Terlebih butuh waktu dan tenaga yang tidak sedikt untuk memverifikasi pegawa-pegawai yang melakukan perjalanan dinas yang jumlahnya bisa mencapai ratusan bahkan ribuan nama dalam satu kali periode pemeriksaan. Yang bisa dilakukan pemeriksa dalam kasus tersebut hanya membidik pegawai yang tidak melengkapi lampiran pendukung perjalanan dinas atau dilengkapi namun dapat dilihat secara kasat mata jika dokumen tersebut tidak aseli.


Itulah sedikit ulasan tentang bagaimana modus penyimpangan perjalanan dinas dilakukan.

Tidak siginfikan memang jika dilihat secara mikro kasus per kasus, namun jika dilihat secara makro maka bisa dipastikan kerugian negara mencapai puluhan miliar setiap tahunnya akibat praktik akal-akalan perjalanan dinas.

Tentu tidak ada api jika tanpa asap, praktik penyimpangan dalam perjalanan dinas ini tak lain muncul akibat rendahnya kesejahteraan pegawai, lemahnya pengawasan, buruknya budaya dan sistem birokrasi, dan sifat rakus oknum pegawai/pejabat yang dengan sengaja mengumpulkan dana non-budgeter untuk kepentingan pribadi atau golongan.

Jika bicara masalah solusi, akan lebih mudah dibuat jika penyebabnya diminimalisir terlebih dahulu. Kuncinya tingkatkan kesejahteraan pegawai, perketat pengawasan, perbaiki budaya dan sistem birokrasi, dan tindak tegas oknum pegawai/pejabat yang menyimpang dari ketentuan.


Penulis: Teguh Arifiyadi, SH

Membedah Mental Koruptif Pegawai

Pada era orde baru, istilah korupsi menjadi icon yang melekat bagi para pegawai yang bekerja di lingkungan pemerintahan. Namun dengan pemahaman yang luas tentang korupsi , memberi makna bahwa korupsi tidak saja dilakukan oleh pegawai pemerintah, melainkan juga melibatkan unsur swasta, professional, bahkan partai politik. Korupsi disini direduksi pengertiannya menjadi perbuatan yang dapat mengakibatkan kerugian terhadap keuangan Negara dengan bermacam-macam unsur yang terdapat didalamnya.

Contoh kongkret perbuatan korupsi yang terjadi sehari-hari adalah; melakukan kegiatan fiktif, perjalanan fiktif, tiket fiktif, gratifikasi, dan lain-lain. Perbuatan yang mana secara sadar maupun tidak sadar dilakukan oleh hampir setiap instansi pemerintah maupun swasta.

Ada baiknya kita memahami sejauh apa motif, modus, maupun keinginan orang untuk melakukan korupsi. Penulis mencoba membedah karakter orang yang korupsi (corruptor) guna memberi pemahaman bahwa tidak semua corruptor dapat dipandang dan dipersalahkan dengan bobot yang sama.

Penulis dengan pandangan argumentatif membagi empat tingkatan (level) karakter koruptif, antara lain:

1. Level Pertama
Karakter ini adalah karakter idealis. Segala macam bentuk korupsi selalu dihindari. Karakter ini membangun keyakinan diri bahwa segala sesuatu yang dilakukan harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan kejujuran. Kesadaran untuk menghindari korupsi muncul dari diri sendiri, tanpa paksaan dari orang lain, maupun paksaan karena peraturan. Bentuk korupsi terkecilpun akan dilawannya. Bahkan jika harus mengorbankan kepentingan pribadinya demi mempertahankan idealitasnya.

2. Level kedua
Karakter ini karakter moderat dalam hal menyikapi bentuk korupsi. Karakter ini menyadari bahwa sangat sulit menghindari korupsi dalam lingkungan pekerjaannya. Namun demikian, karakter ini tidak pernah menciptakan peluang sendiri untuk melakukan korupsi. Korupsi yang dilakukan hanya semata karena pola sistem maupun budaya kerja di sekitarnya. Karakter ini sadar bahwa yang dilakukannya adalah kesalahan. Karakter ini tidak memiliki keberanian melawan dan menghindari korupsi meskipun itu mampu dilakukannya.

3. Level Ketiga
Karakter ini pada prinsipnya hanya follower. Karakter ini tidak memiliki kemampuan berinisiatif untuk melakukan korupsi. Kalaupun karakter ini melakukan korupsi, itu semata karena peluang yang tersedia. Meskipun peluang mendapatkan hasil korupsi lebih banyak terbuka lebar, karakter ini cenderung tidak agresif mengambil peluang tersebut. Baginya korupsi dilakukan hanya sebatas memenuhi kebutuhan hidup yang dirasa kurang akibat penghasilan mereka yang tidak mencukupi. Karakter ini menganggap bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk menghindari korupsi.

4. Level Keempat
Karakter ini adalah inisiator. Karakter ini memiliki kemampuan untuk menciptakan peluang korupsi. Karakter ini secara sadar memanfaatkan kelemahan sistem untuk menciptakan peluang korupsi. Karakter ini membangun sistem baru atau memodifikasi sistem lama menjadi sistem yang membuka ruang orang melakukan korupsi. Motif korupsi bukan sekedar memenuhi kebutuhan minimal, namun memaksimalkan apa yang dapat mereka peroleh. Hasil korupsi yang mereka dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Karakter ini meyakinkan orang bahwa apa yang dilakukaknya adalah hal yang lumrah dan dapat ditiru. Hal itu dilakukan dalam rangka menjalin kebersamaan untuk menghindari risiko hukum perorangan.

Dari keempat level karakter corruptor tersebut, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Resistensi lingkungan terhadap karakter-karakter tersebut bergantung pada budaya kerja setiap tempat dimana karakter tersebut berada.

Namun demikian media massa sebagai kontrol sosial memandang bahwa semua 3 karakter terburuk mempunyai bobot kesalahan yang sama, sehingga menempatkan karakter-karakter tersebut sebagai seluruh obyek yang paling tersudut tanpa memandang modus, motif, maupun karakter individu masing-masing prilaku. Akibatnya porsi keadilan tidak terpenuhi secara proporsional bagi karakter koruptor follower dan moderat. Bahkan cenderung dikorbankan untuk menyelamatkan karakter inisiator yang memang sebagian secara hierarkis lebih cerdas dan memiliki kekuasan di banding yang karakter lainnya.

Penulis termasuk orang yang setuju bahwa untuk menangkap corruptor, hukum harus melakukan tebang pilih. Hukum tidak memiliki kemampuan untuk menunjukan peran represif kepada seluruh pelaku kejahatan. Pola tebang pilih akan lebih menekankan peran preventif hukum dalam mengatasi kejahatan. Bagaimana jadinya jika semua pelaku korupsi baik korupsi dalam kategori ringan sampai kategori berat (berdasarkan tingkat kerugiannya) harus ‘dibersihkan’. Tentu hukum tidak akan sanggup melakukakan hal tersebut. Namun yang terpenting adalah pola tebang pilih bukan diarahkan kepada kepentingan golongan/kelompok tertentu atau dalam rangka menyelamatkan golongan/kelompok tertentu.

Ibarat kata pepatah, untuk menangkap seekor tikus bukan berarti harus membakar seluruh lumbungnya. Demikian pula hukum harus bekerja secara selektif untuk membersihkan korupsi dengan metode yang paling efektif.

Penulis: Teguh Arifiyadi, SH

–Tentang Seni Korupsi Ala PNS– Bagian Pertama; Dana Non-Budgeter

Istilah kata ”korupsi” tampaknya sangat tabu diucapkan oleh sebagian Pegawai Negeri Sipili (PNS). Entah apakah karena memang berbicara masalah korupsi bukan hal yang sederhana, atau memang karena ketakutan psikologis PNS yang merasa juga bagian dari pelaku?

Dalam Kamus Hukum korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Kamus Lexien Webster (1978) menyebut korupsi dalam pengertian kebejatan; ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian. Dalam bahasa hukum kita, korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (UU No. 20 Tahun 2001). Tentu tidak bisa diartikan secara mentah, namun juga harus dilihat unsur-unsur yang terkandung didalamnya.

Korupsi tidak akan terlepas dari sebuah seni. Banyak definisi tentang seni. Penulis dalam hal ini lebih menitikberatkan definisi seni sebagai sebuah hasil kreasi / karya manusia. Kaitannya dengan korupsi adalah bahwa korupsi yang dilakukan manusia secara turun temurun, terus menerus, dengan berbagai metode perlindungan diri, dan dengan berbagai cara adalah juga karya manusia yang mengkreasikannya dalam bentuk perbuatan. Hasil-hasil seni manusia dalam perbuatan korupsi sangat beragam. Mulai dari kegiatan suap sebagai bentuk gratifikasi, kolusi, pengumpulan dana non-budgeter, pemerasan dan lain sebagainya.

Tulisan ini secara khusus mengupas tentang dana non-budgeter yang sampai saat ini masih dianggap sebagai illegal budget karena tidak ada peraturan yang mengaturnya.

Istilah dana non-budgeter memang bukan istilah hukum. Istilah ini mulai banyak disebut sejak era reformasi 1998. Berbagai kasus korupsi erat dikaitkan dengan istilah ini. Sebagian PNS menyebutnya ’dana taktis’ atau ’dana yang sudah dipertanggungjawabkan’ atau ’dana operasional lainnya’ atau ’dana tak bertuan’. Padahal secara prinsip dana non-budgeter adalah dana-dana yang sengaja dikumpulkan secara ilegal oleh instansi atau unit instansi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendesak atau kebutuhan lainnya dil luar dana legal yang dialokasikan APBN. BPK menyebut bahwa dana non-budgeter ini jumlahnya bisa mencapai 4-10 triliun rupiah di instansi-instansi pemerintah di seluruh Indonesia. Angka yang luar biasa besarnya!

Padahal undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara secara tegas melarang seluruh pejabat dan aparatur negara mengelola dan memiliki dana non-budgeter. Semua anggaran (pendapatan, pengeluaran, penerimaan dan pembiayaan) harus tercatat dalam APBN atau APBD yang harus dipertanggungjawabkan kepada parlemen pada akhir tahun anggaran. Lalu dari mana dana non-budgeter bersumber?

Menurut pengamatan dan pengalaman penulis, Dana Non-Budgeter dapat bersumber dari;

1. Kewajiban tidak tertulis atau ”upeti” setiap rapelan gaji/penghasilan pegawai lainnya kepada unit satuan kerja (satker) melalui bendahara masing-masing.
Pengumpulan uang perjalanan dinas fiktif dari pegawai yang tidak benar-benar melakukan perjalanan dinas (pegawai sebatas menandatangani pertanggungjawaban keuangan).
2. Uang/barang pemberian dari rekanan/perusahaan yang memenangkan tender/lelang di unit kerja berkaitan (entah itu yang bersifat sukarela karena dianggap ‘etika’ rekanan maupun yang bersifat ’sedikit’ memaksa).
3. Uang/barang pemberian dari perusahaan atau pihak ketiga yang memiliki kepentingan langsung/tidak langsung dalam dengan maksud/harapan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan instansi yang bersangkutan atau maksud lainnya.
4. Penggelapan pajak oleh oknum tertentu. Namun, teknik ini hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu dengan kompetensi mencukupi.
5. Hasil manipulasi pertanggungjawaban keuangan (misalnya kuitansi palsu, tandatangan palsu, stempel palsu, bahkan kegiatan fiktif).
6. ’Upeti’ satuan kerja kepada satuan kerja lain yang berhubungan dengan kepentingannya (misalnya dari saker ke pemeriksa atau auditor internal/eksternal atau dari satker ke pejabat satker lain).
7. Bunga bank dari dana non-budgeter maupun dana resmi APBN yang sengaja diendapkan di rekening orang perorangan.
8. Hasil investasi dari pemanfaatan dana non-budgeter maupun dana resmi APBN yang tidak dilaporkan sebagai PNBP.

Setidaknya uang-uang tersebut diatas kemudian diorganisir untuk dapat digunakan sebagai:

1. Uang/barang dalam rangka jamuan kepada tamu khusus maupun kepada pejabat yang berkunjung diluar anggaran DIPA;
2. Dana bantuan/tambahan untuk kegiatan-kegiatan perayaan hari besar keagamaan dan hari besar nasional tertentu;
3. Uang/barang dalam rangka pemenuhan Tunjangan Hari Raya (THR) bagi Pegawai dan Pejabat;
4. Upeti/hadiah/gratifikasi kepada pejabat di satuan kerja (satker) bersangkutan maupun di satker lain di akhir tahun anggaran;
5. Upeti/hadiah/gratifikasi kepada anggota DPR dalam hal ada kaitannya dengan kepentingan Satker maupun kepentingan Departemen/Lembaga Non-Departemen;
6. Upeti/hadiah/gratifikasi kepada Partai Politik (parpol) maupun oknum tertentu dalam rangka pemilu, Pilpres, Pilkada dll;
7. Gratifikasi atau pemberian hadiah kepada pegawai/pejabat/ institusi dangan kepentingan tertentu.
8. Dana talangan kegiatan-kegiatan yang anggarannya belum turun.
9. Dana tambahan untuk konsumsi rapat formal/informal, sumbangan bagi pegawai yang sakit keras, tambahan uang duka bagi pegawai atau keluarga pegawai yang meninggal dunia.
10. Sumbangan untuk kegitan sosial lainnya (bantuan rumah ibadah, yayasan, pendidikan, LSM, dan lain-lain yang tidak dianggarkan dalam DIPA).

Lalu kenapa uang-uang tersebut harus ada? Apakah karena APBN kita tidak mengenal istilah pengalokasian uang jamuan khusus atau entertainment fee seperti di perusahaan swasta (semisal bank, asuransi dll)? Apakah aturan larangan atas THR memperhatikan juga budaya dan kebiasaan masyarakat kita? Padahal dalam praktiknya uang tersebut tetap dikeluarkan.

Apakah juga karena APBN kita tidak mengalokasikan atau kurang dalam pengalokasian mata anggaran untuk kegiatan hari besar keagamaan dan hari besar nasional (misalnya maulid nabi, Idul Fitri, Idul Adha, Natal, waisak, hari kemerdekaan, hari kebangkitan nasional, kegiatan-kegiatan sosial lainnya, dan lain-lain)?padahal pada kenyataannya kegiatan tersebut selalu di lakukan di setiap instansi.

Terlepas dari sebab-musabab diatas, setidaknya ada satu titik kesimpulan yang bisa diambil yakni bahwa budaya “korupsi berjamaah” secara sadar maupun tidak sadar sudah menjadi sebuah praktik rutin di instansi pemerintah. Tujuan penggunaan dana non-budgeter untuk kepentingan yang baik dan legal maupun yang tidak baik/ilegal pada prinsipnya tetap melanggar ketentuan yang ada. Tapi dalam praktiknya memang sangat sulit untuk dihindari.

Jika dibahas secara mendalam, akar permasalahannya sangat panjang dan seperti lingkaran setan yang saling berkaitan satu sama lainnya. Memberantas korupsi tidak semudah membalik telapak tangan. Tapi setidaknya dalam diri aparatur pemerintah hendaknya ditanamkan niat bersih untuk menghindari atau setidaknya meminimalisasikan praktik korupsi dengan segala macam bentuknya.

Penulis: Teguh Arifiyadi, SH