Persoalan abadi antara hukum dan teknologi kembali terjadi. Keunggulan internet sebagai salah satu model teknologi informasi memberikan reaksi yang beragam terhadap persoalan hukum yang timbul. Penggunaan media internet sebagai jalur perdagangan baru merupakan jawaban atas majunya perdagangan internasional. Internet mempelopori tumbuhnya transaksi perdagangan dengan menggunakan sarana elektronik atau yang kemudian dikenal dengan electronic commerce.
Electronic Commerce Transaction adalah transaksi dagang antara penjual dengan pembeli dalam rangka penyediaan barang atau jasa termasuk melelangkan barang/jasa atau pengalihan hak dengan menggunakan media elektronik komputer maupun internet.
Pertumbuhan E-Commerce di seluruh dunia yang semakin pesat membawa dampak tersendiri bagi Indonesia. Meskipun pada kenyataannya, pertumbuhan e-commerce dipengaruhi oleh banyaknya penggunaan internet oleh suatu negara yang notabene pada akhirnya menempatkan Amerika Serikat dan China sebagai pengguna internet terbanyak di dunia. Indonesia sendiri boleh berbangga dengan menempatkan jumlah pengguna internet lebih dari 25 juta jiwa atau berada pada peringkat ke 5 pengguna internet terbesar di dunia dengan penetrasi sebesar 10,5% sampai dengan tahun 2008. Angka ini seiring dengan tingkat penetrasi penggunaan internet di asia yang mencapai hampir 40% dari seluruh pengguna internet di dunia . Sayang tidak ada data resmi yang menyebutkan berapa tingkat pertumbuhan e-commerce di Indonesia.
Tingginya pengguna internet memicu pelaku usaha untuk menempatkan produk mereka dalam layanan-layanan online berbasis web atau yang kemudian lebih dikenal dengan istilah perdagangan elektronik (e-commerce). Kejelian pelaku usaha untuk memanfaatkan internet sebagai sarana promosi, transaksi, toko online, maupun sarana bisnis lainnya tidak dibarengi dengan lahirnya perangkat perundang-undangan yang mengatur hal tersebut. Akibatnya banyak pihak yang dirugikan akibat kekosongan hukum dalam cyberspace.
Baru pada awal tahun 2008, pemerintah Indonesia yang digawangi oleh Depkominfo membidani lahirnya Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU ITE lebih khusus lagi pada Bab V pasal 17 sampai dengan pasal 22 menciptakan suatu rezim aturan baru dibidang transaksi elektronik yang selama ini kosong. Meskipun aturan tentang transaksi elektronik tidak diatur secara khusus dalam suatu undang-undang, keberadaan pasal ini sangat penting untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pengguna sarana e-commerce. Terlebih saat ini pemerintah tengah mematangkan lahirnya Peraturan Pemerintah di bidang Transaksi Elektronik.
Perlindungan hukum dalam transaksi elektronik pada prinsipnya harus menempatkan posisi yang setara antar pelaku usaha online dan konsumen. Transaksi elektronik dalam e-commerce tentu saja melibatkan pelaku usaha dan konsumen. Meskipun terlihat sebagai sebuah transaksi maya, transaksi elektronik dalam e-commerce di Indonesia harus tetap tunduk pada ketentuan yang tercantum dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Keberadaan UU ITE dapat dijadikan partner hukum UUPK untuk saling mendukung satu sama lainnya.
Permasalahannya adalalah bagaimana jika pelaku usaha dalam e-commerce tersebut tidak berada pada wilayah domisili yurisdiksi Indonesia. Inilah yang kemudian disebut sebagai salah satu kelemahan penggunaan UU Perlindungan Konsumen dalam transaksi e-commerce. UUPK secara tegas menekankan bahwa aturan tersebut hanya dapat diberlakukan kepada pelaku usaha yang bergerak di dalam wilayah hukum Republik Indonesia.
Jika kembali pada UU ITE, secara jelas menyebutkan bahwa prinsip utama transaksi elektronik adalah kesepakatan atau dengan ”cara-cara yang disepakati” oleh kedua belah pihak (dalam hal ini pelaku usaha dan konsumen). Transaksi elektronik mengikat para pihak yang bersepakat Sehingga dalam sudut pandang perlindungan konsumen, konsumen yang melakukan transaksi elektronik dianggap telah menyepakati seluruh syarat dan ketentuan yang berlaku dalam transaksi tersebut. Hal ini berkenaan dengan klausula baku yang disusun oleh pelaku usaha yang memanfaatkan media internet.
Klausula baku dalam transaksi e-commerce dapat menempatkan posisi yang tidak seimbang antara pelaku usaha dan konsumen. Meskipun dalam UU Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengadung unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut :
1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;
2. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
Persoalan perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce tidak terbatas pada aspek penawaran dan penerimaan saja. Namun lebih jauh mencakup persoalan mengenai ruang lingkup, sengketa, transparansi, dan lain-lain.
Lalu bagaimana jika terjadi perselisihan/sengketa antara pelaku usaha dan konsumen dalam transaksi elektronik?
Di Indonesia, dalam UU ITE disebutkan bahwa transaksi elektronik dapat dituangkan dalam kontrak elektronik. Dalam kontrak elektronik tersebut dapat ditentukan pilihan hukum mana yang digunakan dalam menyelesaikan perselisihan (dispute). Jika pilihan hukum tidak dilakukan, maka yang berlaku adalah hukum yang didasarkan pada asas hukum perdata internasional. Begitupun dengan pilihan forum pengadilan mana yang berhak. Para pihak dalam transaksi e-commerce dapat menentukan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya mana yang dipilih dalam e-contract. Dan jika tidak dilakukan pemilihan forum, maka penyelesaian sengketa akan kembali pada asas dalam Hukum Perdata Internasional.
Pilihan hukum dalam kontrak komersil selalu menjadi kontroversial. Di satu sisi, ia harus mencerminkan kesenjangan antara daya tawar dari konsumen dan profesional. Di sisi lain, kontrak tersebut harus mencapai tingkat keseimbangan antara para pihak. Perkembangan e-commerce membuat masalah semakin rumit. Beberapa peraturan konvensional tidak dapat di implementasikan secara efektif dalam e-kontrak .
Berbeda dengan Uni Eropa yang secara tegas pada 4 Juni 2000 menerapkan aturan untuk melindungi kepentingan konsumen yang kemudian dikenal dengan Petunjuk Penjualan Jarak Jauh. Petunjuk tersebut menerapkan persyaratan minimum tertentu untuk bisnis melalui fasilitas internet .
Dalam hal tidak dicantumkannya pilihan hukum dalam kontrak e-commerce, sebetulnya ada beberapa teori yang berkembang untuk menentukan hukum mana yang berlaku, diantaranya adalah :
1. Mail box theory (Teori Kotak Pos)
Dalam hal transaksi e-commerce, maka hukum yang berlaku adalah hukum di mana pembeli mengirimkan pesanan melalui komputernya. Untuk ini diperlukan konfirmasi dari penjual. Jadi perjanjian atau kontrak terjadi pada saat jawaban yang berisikan penerimaan tawaran tersebut dimasukkan ke dalam kotak pos (mail box).
2. Acceptance theory (Teori Penerimaan)
Hukum yang berlaku adalah hukum di mana pesan dari pihak yang menerima tawaran tersebut disampaikan. Jadi hukumnya si penjual.
3. Proper Law of Contract
Hukum yang berlaku adalah hukum yang paling sering dipergunakan pada saat pembuatan perjanjian. Misalnya, bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia, kemudian mata uang yang dipakai dalam transaksinya Rupiah, dan arbitrase yang dipakai menggunakan BANI, maka yang menjadi pilihan hukumnya adalah hukum Indonesia.
4. The most characteristic connection
Hukum yang dipakai adalah hukum pihak yang paling banyak melakukan prestasi.
Dari keempat model pilihan hukum tersebut diatas tampaknya UU ITE lebih mengedepankan pilihan hukum dan pilihan forum pengadilan pada kesepakatan para pihak. Meskipun secara eksplisit teori mail box dan acceptance menjadi dasar pijakan tentang kapan terjadinya transaksi. Konsep ini diuraikan dalam pasal 22 UU ITE yang menyebutkan bahwa akad dari transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui penerima. Meskipun demikian tidak ada satupun teori tentang penerimaan (receipt theory) yang mampu secara menyeluruh menyelesaikan persoalan lain tentang pembuktian dari transaksi itu sendiri .
Kedudukan hukum dari konsumen tidak bisa menjadi satu-satunya dasar bagi konsumen untuk mendapatkan perlindungan hukum di tempat konsumen berdomisili. Dalam transaksi e-commerce yang mengedepankan klausula baku, perlindungan terhadap pelaku usaha dengan sendirinya terbentuk setelah konsumen menyatakan ”I agree” terhadap syarat dan ketentuan yang diminta pelaku usaha. Itu artinya konsumen berada pada posisi yang tidak seimbang.
Persoalan pokok yurisdiksi (cyberjurisdiction) baru menjadi hal yang sangat penting apabila timbul sengketa/perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha. Kondisi ini akhirnya memaksa konsumen untuk cenderung mengedepankan unsur kepercayaan kepada pelaku usaha pada bisnis online sebelum membeli produk/jasa mereka.
Penerapan yurisdiksi kaitannya dengan transaksi e-commerce setiap negara dapat berbeda. Karakter e-commerce yang mampu melintasi batas antar negara membutuhkan keseragaman hukum antar satu negara dengan negara lainnya khususnya mengenai yurisdiksi. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan konsumen untuk bertransaksi dengan aman dan mendapatkan kepastian hukum yang adil dan sesuai (equal).
Masaki Hamano membedakan pengertian cyber jurisdiction dari sudut pandang dunia cyber/virtual dan dari sudut padang hukum. Dari sudut dunia virtual, cyberjurisdiction sering diartikan sebagai kekuasaan sistem operator dan para penggunauntuk menetapkan aturan dan melaksanakannya pada suatu masyarakat di ruang cyber/virtual. Dari sudut pandang hukum, cyberjurisdiction atau jursidiction in cyberspace adalah kekuasaan fisik pemerintah dan kewenangan pengadilan terhadap pengguna internet atau terhadap aktivitas mereka di ruang cyber . Hal itu menunjukkan perbedaan dua sudut pandang dalam menerapkan cyberjursidiction.
Sehingga muncul pendapat bahwa bahwa prinsip-prinsip tradisional dalam penerapan cyberjurisdiction tidak sesuai dan mengacaukan apabila diterapkan dalam cyebrspace .
Pendapat ini ditentang oleh Barda Nawawi Arief . Menurut Barda, Sistem hukum dan jurisdiksi nasional/teritorial memang mempunyai keterbatasan karena tidaklah mudah menjangkau pelaku kejahatan di ruang cyber yang tidak terbatas itu. Namun tidak berarti aktivitas di ruang cyebr dibiarkan bebas tanpa hukum. Ruang cyber merupakan juga bagian atau perluasan dari ’lingkungan” (environment) dan lingkungan hidup (life environment) yang perlu dipelihara dan dijaga kualitasnya. Jadi juga merupakan suatu kepentingan hukum yang harus dilindungi .
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya konsumen itu segan berperkara, apalagi apabila biaya yang dikeluarkan lebih besar dari kemungkinan hasil yang akan diperoleh . Hal itu pula yang terjadi dalam transaksi e-commerce. Dalam transaksi e-commerce, karakteristik perkara yang muncul dalam perlindungan konsumen lebih kompleks dibanding transaksi nyata. Persoalan yurisdiksi dan pembuktian dapat menjadi hambatan dan pertimbangan konsumen untuk mengajukan gugatan.
Contoh Kasus Perlindungan Konsumen e-Commerce di Amerika
Berawal dari pencantuman harga monitor Hitachi 19 inci pada Februari 1999, Buy.com mencantumkan harga sebesar 164,50 USD atau lebih rendah 400 uSD dari harga normalnya selama empat hari. Buy.com memberlakukan harga yang keliru tersebut pada 143 monitor. Namun pada kenyataannya Buy.com menolak untuk mengirimkan pesanan beberapa konsumen yang terlanjur memesan barang tersebut.
Konsumen yang tidak memperoleh pesanan, menuduh Buy.com telah memberikan harga dan kemudian mengubahnya secara sengaja dengan tujuan untuk menarik pelanggan melalui webstrore tersebut. Namun dalam pembelaannya Buy.com mengaku hal tersebut merupakan sebuah ketidaksengajaan atas kesalahan dalam memasukkan data.
Akibat kesalahan tersebut Buy.com setuju untuk membayar sebesar 575 ribu USD untuk menyelesaikan sengketa pengadilan yang pertama atas harga barang yang salah di cyberspace .
Di Indonesia sengketa masalah-masalah serupa sepengetahuan penulis belum pernah termuat dalam laporan media maupun dalam pengadilan. Meskipun dalam kenyataannya, sengketa konsumen dalam cyberspace sebetulnya sangat mungkin terjadi di manapun termasuk di Indonesia.
Dalam hal sengketa konsumen e-commerce terjadi di Indonesia, konsumen dapat memanfaatkan peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Apabila mencermati peraturan yang mengatur tentang gugatan dalam sengketa konsumen, maka dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui BPSK akan lebih cepat dibandingkan apabila sengketa tersebut dibawa ke jalur litigasi (pengadilan). Msekipun sifat putusan yang mengikat dan final BPSK pada teorinya dapat diajukan ke Pengadilan Negeri dan MA.
Dalam transaksi e-commerce, posisi BPSK sebagai badan yang memfasilitasi penyelesesaian sengketa konsumen menjadi perhatian serius. Hal ini menyangkut kepercayaan para konsumen (cyber shopper) untuk melimpahkan permasalahannya ke BPSK. Apalagi jika para pihak yang berperkara tidak menyebutkan klausula pilihan hukum dan pilihan pengadilan dalam perjanjian elektroniknya. Apabila hal ini terjadi tentunya semuanya akan merujuk kembali ke dalam ketentuan Hukum Perdata internasional.
Electronic Commerce Transaction adalah transaksi dagang antara penjual dengan pembeli dalam rangka penyediaan barang atau jasa termasuk melelangkan barang/jasa atau pengalihan hak dengan menggunakan media elektronik komputer maupun internet.
Pertumbuhan E-Commerce di seluruh dunia yang semakin pesat membawa dampak tersendiri bagi Indonesia. Meskipun pada kenyataannya, pertumbuhan e-commerce dipengaruhi oleh banyaknya penggunaan internet oleh suatu negara yang notabene pada akhirnya menempatkan Amerika Serikat dan China sebagai pengguna internet terbanyak di dunia. Indonesia sendiri boleh berbangga dengan menempatkan jumlah pengguna internet lebih dari 25 juta jiwa atau berada pada peringkat ke 5 pengguna internet terbesar di dunia dengan penetrasi sebesar 10,5% sampai dengan tahun 2008. Angka ini seiring dengan tingkat penetrasi penggunaan internet di asia yang mencapai hampir 40% dari seluruh pengguna internet di dunia . Sayang tidak ada data resmi yang menyebutkan berapa tingkat pertumbuhan e-commerce di Indonesia.
Tingginya pengguna internet memicu pelaku usaha untuk menempatkan produk mereka dalam layanan-layanan online berbasis web atau yang kemudian lebih dikenal dengan istilah perdagangan elektronik (e-commerce). Kejelian pelaku usaha untuk memanfaatkan internet sebagai sarana promosi, transaksi, toko online, maupun sarana bisnis lainnya tidak dibarengi dengan lahirnya perangkat perundang-undangan yang mengatur hal tersebut. Akibatnya banyak pihak yang dirugikan akibat kekosongan hukum dalam cyberspace.
Baru pada awal tahun 2008, pemerintah Indonesia yang digawangi oleh Depkominfo membidani lahirnya Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU ITE lebih khusus lagi pada Bab V pasal 17 sampai dengan pasal 22 menciptakan suatu rezim aturan baru dibidang transaksi elektronik yang selama ini kosong. Meskipun aturan tentang transaksi elektronik tidak diatur secara khusus dalam suatu undang-undang, keberadaan pasal ini sangat penting untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pengguna sarana e-commerce. Terlebih saat ini pemerintah tengah mematangkan lahirnya Peraturan Pemerintah di bidang Transaksi Elektronik.
Perlindungan hukum dalam transaksi elektronik pada prinsipnya harus menempatkan posisi yang setara antar pelaku usaha online dan konsumen. Transaksi elektronik dalam e-commerce tentu saja melibatkan pelaku usaha dan konsumen. Meskipun terlihat sebagai sebuah transaksi maya, transaksi elektronik dalam e-commerce di Indonesia harus tetap tunduk pada ketentuan yang tercantum dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Keberadaan UU ITE dapat dijadikan partner hukum UUPK untuk saling mendukung satu sama lainnya.
Permasalahannya adalalah bagaimana jika pelaku usaha dalam e-commerce tersebut tidak berada pada wilayah domisili yurisdiksi Indonesia. Inilah yang kemudian disebut sebagai salah satu kelemahan penggunaan UU Perlindungan Konsumen dalam transaksi e-commerce. UUPK secara tegas menekankan bahwa aturan tersebut hanya dapat diberlakukan kepada pelaku usaha yang bergerak di dalam wilayah hukum Republik Indonesia.
Jika kembali pada UU ITE, secara jelas menyebutkan bahwa prinsip utama transaksi elektronik adalah kesepakatan atau dengan ”cara-cara yang disepakati” oleh kedua belah pihak (dalam hal ini pelaku usaha dan konsumen). Transaksi elektronik mengikat para pihak yang bersepakat Sehingga dalam sudut pandang perlindungan konsumen, konsumen yang melakukan transaksi elektronik dianggap telah menyepakati seluruh syarat dan ketentuan yang berlaku dalam transaksi tersebut. Hal ini berkenaan dengan klausula baku yang disusun oleh pelaku usaha yang memanfaatkan media internet.
Klausula baku dalam transaksi e-commerce dapat menempatkan posisi yang tidak seimbang antara pelaku usaha dan konsumen. Meskipun dalam UU Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengadung unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut :
1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;
2. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
Persoalan perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce tidak terbatas pada aspek penawaran dan penerimaan saja. Namun lebih jauh mencakup persoalan mengenai ruang lingkup, sengketa, transparansi, dan lain-lain.
Lalu bagaimana jika terjadi perselisihan/sengketa antara pelaku usaha dan konsumen dalam transaksi elektronik?
Di Indonesia, dalam UU ITE disebutkan bahwa transaksi elektronik dapat dituangkan dalam kontrak elektronik. Dalam kontrak elektronik tersebut dapat ditentukan pilihan hukum mana yang digunakan dalam menyelesaikan perselisihan (dispute). Jika pilihan hukum tidak dilakukan, maka yang berlaku adalah hukum yang didasarkan pada asas hukum perdata internasional. Begitupun dengan pilihan forum pengadilan mana yang berhak. Para pihak dalam transaksi e-commerce dapat menentukan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya mana yang dipilih dalam e-contract. Dan jika tidak dilakukan pemilihan forum, maka penyelesaian sengketa akan kembali pada asas dalam Hukum Perdata Internasional.
Pilihan hukum dalam kontrak komersil selalu menjadi kontroversial. Di satu sisi, ia harus mencerminkan kesenjangan antara daya tawar dari konsumen dan profesional. Di sisi lain, kontrak tersebut harus mencapai tingkat keseimbangan antara para pihak. Perkembangan e-commerce membuat masalah semakin rumit. Beberapa peraturan konvensional tidak dapat di implementasikan secara efektif dalam e-kontrak .
Berbeda dengan Uni Eropa yang secara tegas pada 4 Juni 2000 menerapkan aturan untuk melindungi kepentingan konsumen yang kemudian dikenal dengan Petunjuk Penjualan Jarak Jauh. Petunjuk tersebut menerapkan persyaratan minimum tertentu untuk bisnis melalui fasilitas internet .
Dalam hal tidak dicantumkannya pilihan hukum dalam kontrak e-commerce, sebetulnya ada beberapa teori yang berkembang untuk menentukan hukum mana yang berlaku, diantaranya adalah :
1. Mail box theory (Teori Kotak Pos)
Dalam hal transaksi e-commerce, maka hukum yang berlaku adalah hukum di mana pembeli mengirimkan pesanan melalui komputernya. Untuk ini diperlukan konfirmasi dari penjual. Jadi perjanjian atau kontrak terjadi pada saat jawaban yang berisikan penerimaan tawaran tersebut dimasukkan ke dalam kotak pos (mail box).
2. Acceptance theory (Teori Penerimaan)
Hukum yang berlaku adalah hukum di mana pesan dari pihak yang menerima tawaran tersebut disampaikan. Jadi hukumnya si penjual.
3. Proper Law of Contract
Hukum yang berlaku adalah hukum yang paling sering dipergunakan pada saat pembuatan perjanjian. Misalnya, bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia, kemudian mata uang yang dipakai dalam transaksinya Rupiah, dan arbitrase yang dipakai menggunakan BANI, maka yang menjadi pilihan hukumnya adalah hukum Indonesia.
4. The most characteristic connection
Hukum yang dipakai adalah hukum pihak yang paling banyak melakukan prestasi.
Dari keempat model pilihan hukum tersebut diatas tampaknya UU ITE lebih mengedepankan pilihan hukum dan pilihan forum pengadilan pada kesepakatan para pihak. Meskipun secara eksplisit teori mail box dan acceptance menjadi dasar pijakan tentang kapan terjadinya transaksi. Konsep ini diuraikan dalam pasal 22 UU ITE yang menyebutkan bahwa akad dari transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui penerima. Meskipun demikian tidak ada satupun teori tentang penerimaan (receipt theory) yang mampu secara menyeluruh menyelesaikan persoalan lain tentang pembuktian dari transaksi itu sendiri .
Kedudukan hukum dari konsumen tidak bisa menjadi satu-satunya dasar bagi konsumen untuk mendapatkan perlindungan hukum di tempat konsumen berdomisili. Dalam transaksi e-commerce yang mengedepankan klausula baku, perlindungan terhadap pelaku usaha dengan sendirinya terbentuk setelah konsumen menyatakan ”I agree” terhadap syarat dan ketentuan yang diminta pelaku usaha. Itu artinya konsumen berada pada posisi yang tidak seimbang.
Persoalan pokok yurisdiksi (cyberjurisdiction) baru menjadi hal yang sangat penting apabila timbul sengketa/perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha. Kondisi ini akhirnya memaksa konsumen untuk cenderung mengedepankan unsur kepercayaan kepada pelaku usaha pada bisnis online sebelum membeli produk/jasa mereka.
Penerapan yurisdiksi kaitannya dengan transaksi e-commerce setiap negara dapat berbeda. Karakter e-commerce yang mampu melintasi batas antar negara membutuhkan keseragaman hukum antar satu negara dengan negara lainnya khususnya mengenai yurisdiksi. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan konsumen untuk bertransaksi dengan aman dan mendapatkan kepastian hukum yang adil dan sesuai (equal).
Masaki Hamano membedakan pengertian cyber jurisdiction dari sudut pandang dunia cyber/virtual dan dari sudut padang hukum. Dari sudut dunia virtual, cyberjurisdiction sering diartikan sebagai kekuasaan sistem operator dan para penggunauntuk menetapkan aturan dan melaksanakannya pada suatu masyarakat di ruang cyber/virtual. Dari sudut pandang hukum, cyberjurisdiction atau jursidiction in cyberspace adalah kekuasaan fisik pemerintah dan kewenangan pengadilan terhadap pengguna internet atau terhadap aktivitas mereka di ruang cyber . Hal itu menunjukkan perbedaan dua sudut pandang dalam menerapkan cyberjursidiction.
Sehingga muncul pendapat bahwa bahwa prinsip-prinsip tradisional dalam penerapan cyberjurisdiction tidak sesuai dan mengacaukan apabila diterapkan dalam cyebrspace .
Pendapat ini ditentang oleh Barda Nawawi Arief . Menurut Barda, Sistem hukum dan jurisdiksi nasional/teritorial memang mempunyai keterbatasan karena tidaklah mudah menjangkau pelaku kejahatan di ruang cyber yang tidak terbatas itu. Namun tidak berarti aktivitas di ruang cyebr dibiarkan bebas tanpa hukum. Ruang cyber merupakan juga bagian atau perluasan dari ’lingkungan” (environment) dan lingkungan hidup (life environment) yang perlu dipelihara dan dijaga kualitasnya. Jadi juga merupakan suatu kepentingan hukum yang harus dilindungi .
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya konsumen itu segan berperkara, apalagi apabila biaya yang dikeluarkan lebih besar dari kemungkinan hasil yang akan diperoleh . Hal itu pula yang terjadi dalam transaksi e-commerce. Dalam transaksi e-commerce, karakteristik perkara yang muncul dalam perlindungan konsumen lebih kompleks dibanding transaksi nyata. Persoalan yurisdiksi dan pembuktian dapat menjadi hambatan dan pertimbangan konsumen untuk mengajukan gugatan.
Contoh Kasus Perlindungan Konsumen e-Commerce di Amerika
Berawal dari pencantuman harga monitor Hitachi 19 inci pada Februari 1999, Buy.com mencantumkan harga sebesar 164,50 USD atau lebih rendah 400 uSD dari harga normalnya selama empat hari. Buy.com memberlakukan harga yang keliru tersebut pada 143 monitor. Namun pada kenyataannya Buy.com menolak untuk mengirimkan pesanan beberapa konsumen yang terlanjur memesan barang tersebut.
Konsumen yang tidak memperoleh pesanan, menuduh Buy.com telah memberikan harga dan kemudian mengubahnya secara sengaja dengan tujuan untuk menarik pelanggan melalui webstrore tersebut. Namun dalam pembelaannya Buy.com mengaku hal tersebut merupakan sebuah ketidaksengajaan atas kesalahan dalam memasukkan data.
Akibat kesalahan tersebut Buy.com setuju untuk membayar sebesar 575 ribu USD untuk menyelesaikan sengketa pengadilan yang pertama atas harga barang yang salah di cyberspace .
Di Indonesia sengketa masalah-masalah serupa sepengetahuan penulis belum pernah termuat dalam laporan media maupun dalam pengadilan. Meskipun dalam kenyataannya, sengketa konsumen dalam cyberspace sebetulnya sangat mungkin terjadi di manapun termasuk di Indonesia.
Dalam hal sengketa konsumen e-commerce terjadi di Indonesia, konsumen dapat memanfaatkan peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Apabila mencermati peraturan yang mengatur tentang gugatan dalam sengketa konsumen, maka dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui BPSK akan lebih cepat dibandingkan apabila sengketa tersebut dibawa ke jalur litigasi (pengadilan). Msekipun sifat putusan yang mengikat dan final BPSK pada teorinya dapat diajukan ke Pengadilan Negeri dan MA.
Dalam transaksi e-commerce, posisi BPSK sebagai badan yang memfasilitasi penyelesesaian sengketa konsumen menjadi perhatian serius. Hal ini menyangkut kepercayaan para konsumen (cyber shopper) untuk melimpahkan permasalahannya ke BPSK. Apalagi jika para pihak yang berperkara tidak menyebutkan klausula pilihan hukum dan pilihan pengadilan dalam perjanjian elektroniknya. Apabila hal ini terjadi tentunya semuanya akan merujuk kembali ke dalam ketentuan Hukum Perdata internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar